Rabu, 14 Desember 2011

Kepongor: Metode Pendidikan Agama yang Efektif

 
samo ‘ham sarwa bhutesu
na me dvesyo ‘sti na priyah
ye bhajanti tu mam bhaktya
mayi te tesu capy aham

Aku adalah sama bagi semua makluk,
bagi-Ku tiada yang terbenci dan terkasihi,
tetapi mereka yang berbhakti kepadaku dengan penuh pengabdian,
mereka ada pada-Ku dan Aku ada pada mereka
(Bhagawadgita IX-29)

Tak bisa  kita pungkiri bahwa kehidupan beragama Hindu khususnya di Bali banyak dipengaruhi oleh mitos-mitos gaib. Mitos tersebut misalnya kepongor yakni sebuah kepercayaan yang menganggap dewa-dewa atau roh-roh leluhur melakukan penghukuman terhadap manusia atas tindakan-tindakan yang dianggap menyalahi hukum-hukum alam esoteris. Contoh yang dapat diambil yakni maraknya umat yang terpaksa melaksanakan upacara berskala besar walau sebenarnya secara konomi mereka tidak mampu. Justifikasi  dari para Balian Sonteng akan pesan dari para dewa atau leluhur mengenai ukuran upacara tidak berani mereka bantah, mereka takut kepongor.. Pilihan ukuran melaksanakan yadnya seolah terabaikan. Keiklasan yang dalam sastra dikatakan lebih utama menjadi tidak berarti. Akibatnya umat Hindu dalam  melaksanakan ritual banyak yang dilandasi ketakutan bukan keikalsan. Umat melaksanakan upacara hanya karena takut kepongor atau kemarahan Tuhan. Tattwa agama tampak dikalahkan oleh ketakutan umat akan mitos gaib.
            Namun demikian fenomena ini justru dapat  dimanfaatkan untuk menanamkan sraddha dan moralitas kepada umat terutama bagi generasi muda. Maraknya tindak kejahatan dan rendahnya moralitas generasi muda dapat diperbaiki dengan mengintegrasikan mitos gaib ini dalam pendidikan agama Hindu. Dengan adanya kepercayaan ini para generasi muda akan tunduk dan patuh terhadap ajaran agama. Kepongor ini akan menuntun generasi muda untuk senantiasa rajin sembahyang. Demikian pula dengan rasa hormat mereka kepada leluhur dapat dibentuk. Sifat itu kemudian dapat mereka wujudnyatakan dengan menhormati orang tua mereka di rumah maupun orang yang dituakan serta masyarakat pada umumnya. Dengan demikian implikasi dari kepercayaan kepongor ini akan berdampak langsung dalam membentuk karakter generasi muda yang berbhakti dan santun. 
            Hal tersebut kami rasakan  sendiri. Ketika kecil kami diajarkan untuk senantiasa rajin sembahyang. Keluar rumah baik itu ke sekolah ataupun jalan-jalan kami diajarkan untuk sembahyang terlebih dahulu. Kami juga diajarkan untuk senantiasa hormat kepada orang yang lebih tua. Jika itu dilanggar maka dikatakan bahwa kami akan kepongor. Pun ketika kami aktif sebagai anggota Pramuka. Ketika saat pelantikan kami mengucapkan Tri Satya yang syarat dengan janji-janji moral di sebuah pura yang konon keramat. Pendidikan masa kecil dan janji di pura itu menjadikan kami takut untuk berbuat yang tidak baik karena kami takut kepongor. Setelah mempelajari filsafat kami baru menyadari kesalahan dari alur berpikir tersebut. Tapi kami justru bersyukur karena berkat ajaran tersebut kami senantiasa tertuntun untuk selalu berbuat baik. Ini membuktikan bahwa mitos kepongor sangat efektif sebagai metode pembelajaran agama Hindu.
            Sesungguhnya kepercayaan akan kepongor ini juga terdapat dalam Itihasa dan Purana. Cerita akan kehancuran para raksasa akibat keangkuhan dan keangkaramurkaannya juga merupakan bentuk kepongornya kepada para dewa. Hiranyakasipu, Rawana, Sisupaladan Duryodana merupakan tokoh-tokoh yang terkenal kepongor dalam Purana dan Itihasa. Itihasa dan Purana seolah berpesan agar kita semua menjadi orang baik dan tidak sekali-kali berani melawan dewa atau leluhur. Cukup dipercaya dan lakukan dan hasilnya akan kita dapatkan pada akhirnya.
Mitos kepongor ini hendaknya juga diimbangi dengan cerita orang-orang sukses akibat pengabdian dan rasa hormatnya kepada para dewa dan leluhur. Dengan demikian generasi muda akan termotivasi untuk senantiasa berbuat baik dan takut berbuat jahat.  Dalam hal ini seorang guru atau orang tua di rumah dapat menanamkan cerita-cerita keteladanan dari Prahlada, Rama, Pandawa, dan sebagainya  yang kehidupannya berujung pada kesuksesan. Di rumah seorang orangtua hendaknya menyisihkan waktu untuk menceritakan cerita-cerita Purana dan Itihasa tersebut kepada anaknya. Tradisi mendongeng sebelum tidur yang semakin ditinggalkan akibat kemajuan teknologi hendaknya dibangkitkan kembali. Tidak bisa dipungkiri bahwa selain mendatangkan manfaat yang besar, teknologi juga berpengaruh buruk terhadap karakter anak.  Maraknya game-game serta tontonan di televisi yang berbau kekerasan dan tindakan asusila sangat mempengaruhi karakter anak ke arah yang buruk.
Namun demikian hendaknya ketika mereka sudah beranjak dewasa diajarkan kebenaran filsafat dan tattwa sehingga mampu mengkritisi kebenaran dari mitos kepongor tersebut. Melalui pendalaman filsafat mereka akan memahami bahwa para dewa dan leluhur sesungguhnya sangat pemurah dan pemaaf. Dengan demikian mereka pada nantinya juga akan mengetahui maksud sesungguhnya dari kepercayaan kepongor tersebut yang sesungguhnya ingin menanamkan sraddha dan moralitas. Pembinaan-pembinaan kepada umat secara keseluruhan juga sangat diperlukan sehingga sraddha dan bhakti umat dapat ditingkatkan dan tidak dikalahkan oleh mitos-mitos yang tidak jelas dasar sastranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar