Asato ma sad gamaya
Tamaso ma jyotir gamaya
Mrtyor ma amrtam gamaya
“Ya Tuhan bimbinglah kami dari ketidakbenaran menuju kebenaran
Dari kebodohan menuju kebijaksanaan
Dari kematian menuju keabadian”
Upacara Panca
Bali Krama kembali digelar. Upacara besar ini mendapat sambutan yang sangat
baik dari krama Bali terbukti dengan besarnya antusias mereka ngayah selama
berlangsungnya karya ini. Berbagai persiapan dilaksanakan dengan cepat. Dan
untuk menjaga kesucian alam Bali, selama berlangsungnya karya ini masyarakat Bali dilarang untuk melakukan
upacara Ngaben.
Pelarangan
Ngaben ini patut disikapi. Benarkah Ngaben dapat merusak kesucian alam yang
diperlukan selama berlangsungnya karya? Tidakkah sawa yang disimpan menunggu
selesainya karya malah akan memberikan vibrasi negatif?
Menurut Grhya
Sutra dan Wedanta, badan orang yang meninggal semestinya segera diupacarai.
Ketika meninggal badan fisik (Annamayakosa) akan ditinggalkan oleh atma. Atma
kemudian akan menggunakan badan esteris (Pranamayakosa). Jika badan fisik
tersebut tidak segera mendapat upacara maka atma akan sangat lama terikat
dengan badan esteris. Ketika masih terikat dengan badan esteris atma masih
terikat dengan unsur-unsur keduniwian. Atma akan sangat sulit untuk melangkah
ke badan astral (Manomayakosa) dalam proses perjalanan jiwa menuju kematian.
Hal ini sangat rentan menjadikan atma sebagai preta atau bhuta cuil dalam
keyakinan masyarakat Bali.
Ketika atma
menjadi preta, maka atma akan mempunyai sifat-sifat negatif seperti keinginan
untuk membalas dendam, mengganggu orang dan sebagainya. Atma akan menjadi
semakin terpuruk dalam awidya. Preta memberikan vibrasi negatif bagi alam. Pengalaman kami yang pernah
menyimpan sawa dalam waktu yang lama mengakibatkan suasana rumah menjadi
mencekam. Beruntung kami dibantu oleh beberapa teman sehingga vibrasi-vibrasi
buruk itu dapat dinetralisir.
Cerita tentang
penderitaan atma putra Raja Sagara yang meninggal akibat kemarahan Rsi Kapila
dalam penggalan cerita turunnya Gangga ke dunia seperti yang terdapat dalam
kitab Purana hendaknya dapat dijadikan pelajaran. Diceritakan bahwa keenam ribu
putra Raja Sagara menuduh Rsi Kapila mencuri kuda yang dipergunakan dalam
upacara Aswameda yang dilakukan oleh Raja Sagara. Rsi Kapila yang marah
kemudian membakar mereka semua sehingga menjadi tumpukan abu. Untuk menyucikan
roh mereka semua maka diperlukan air
suci Gangga. Karena penyesalannya Raja Sagara melaksanakan tapa untuk
menurunkan Gangga ke dunia. Tapi Raja Sagara gagal. Hal ini kemudian dilanjutkan oleh putranya
yang bernama Amshuuman. Raja Amshumanpun gagal. Penurunan Gangga kemudian
dilanjutkan oleh putranya yakni Raja Dilipa, namun masih tetap gagal. Gangga
baru berhasil diturunkan ke bumi oleh putranya yakni Raja Bhagiratha. Raja
Bhagiratha juga memuja Dewa Siwa agar Beliau berkenan meredam Gangga yang turun
dari sorga sehingga dunia tidak hancur karenanya. Dengan turunnya Gangga, maka
atma leluhurnya menjadi tersucikan sehingga
dapat bereinkarnasi kembali.
Mengingat menderitanya
atma orang yang upacara kematiannya ditunda seperti itu, semestinya pelaksanaan upacara kematian tidak
ditunda-tunda. Lebih cepat lebih baik. Dengan upacara atma orang yang meninggal
diharapkan tidak sempat terikat kembali dengan hal-hal duniawi sehingga tidak
menghambat perjalanan jiwa mereka menuju
reinkarnasi kembali. Bisa jadi dengan penundaan upacara Ngaben ketika
terdapat upacara Panca Bali Krama
menjadikan atma semakin sedih dan menyesal secara mendalam terhadap kematiannya
karena mereka meninggal sebelum sempat ngayah. Penundaan seperti itu bisa jadi
sangat rentan menjadikan para atma sebagai bhuta cuil atau preta.
Penundaan
upacara Pitra Yadnya bagi orang yang meninggal tentunya juga berdampak buruk
bagi keluarga yang ditinggalkan. Secara ekonomi keluarga yang ditinggalkan
perlu mengeluarkan biaya yang berlebih untuk mengurus sawa yang ada di rumahnya
misalnya saja biaya untuk mengawetkan jenasah. Selain itu keluarga juga perlu
mengeluarkan biaya untuk menjamu tamu yang bertandang ke rumahnya untuk
melayat. Penundaan pelaksanaan Pitra Yadnya juga berdampak buruk bagi
psikologis keluarga yang ditinggalkan. Keluarga tentunya akan lebih lama
memendam kesedihan. Secara psikologis pula keluarga akan menjadi tertekan
karena upacara bagi sanak keluarganya tidak bisa segera dilaksanakan. Tidak
bisa segera sembahyang ke pura Besakih tentunya juga menambah beban psikologis.
Melihat buruknya
efek yang ditimbulkan oleh penundaan pelaksanaan Pitra Yadnya maka larangan
tersebut hendaknya dikaji kembali. Memelihara kesucian alam Bali ketika karya
Panca Bali Krama hendaknya dilakukan secara lebih logis dan manusiawi sesuai
dengan ajaran filsafat Hindu. Hendaknya kita semua sebagai warga Bali ikut
aktif menjaga kesucian alam Bali.Memelihara kesucian alam Bali dapat dilakukan
dengan melakukan optimalisasi peran Tri Sadhaka. Tri Sadhaka tidak hanya
diperlukan dalam muput karya Panca Bali Krama, Tri Sadhaka juga hendaknya
berperan aktif dalam membersihkan alam (Tri Bhuwana). Sulinggih Bujangga
optimal membersihkan Bhur Lokha, Sulinggih Budha membersihkan Bwah Lokha dan
Sulinggih Siwa aktif membersihkan Swah Lokha. Kewajiban Sulinggih melaksanakan
Surya Sewana di pagi hari dalam usaha untuk membersihkan alam hendaknya
dilakukan dengan all out. Demikian juga dengan para walaka semuanya hendaknya
ikut menjaga kesucian diri dan
lingkungan dengan menjaga pikiran, perkataan, dan perbuatan agar
senantiasa sesuai dengan ajaran etika Hindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar