Rabu, 14 Desember 2011

Prasadam Adalah Anugrah Bukan Sampah




yajna-sistamrta-bhujo
yanti brahma sanatanam
nayam loko sty ayajnasya
kuto nah kuru-sattama

Mereka yang makan sisa persembahan,
Sebagai amrta, mencapai Brahman yang kekal abadi,
Dunia ini bukan bagi yang tidak beryadnya
Apa pula dunia yang lain, wahai Arjuna
(Bhagawadgita IV-31)

Masalah lingkungan merupakan isu yang sedang mengemuka  saat ini. Lingkungan yang rusak merupakan salah satu penyebab utama bencana alam di dunia. Semakin bertambahnya polutan yang tidak disertai dengan upaya pencegahan yang maksimal menyebabkan alam sangat cepat rusak. Bahkan yang paling dikhawatirkan kerusakan memuncak dengan  berubahnya iklim di seluruh belahan dunia.
Sumber polutan ternyata tidak hanya dati kalangan industri, namun juga dari rumah tangga. Aktivitas yadnya pun ikut memberi andil rusaknya lingkungan. Sisa-sisa upakara baik itu dalam skala rumah tangga ataupun dalam skala besar seperti Panca Bali Krama dibuang seenaknya seperti sampah. Tidakkah ’sampah’ tersebut sesungguhnya adalah prasadam atau surudan?
Ini sesungguhnya merupakan bentuk tidak hormat kita pada Tuhan yang kita beri persembahan. Kita memuji-muji Beliau dan mempersembahkan sesajen. Tetapi setelah sesajen itu menjadi prasadam kita malah membuangnya. Ini tentu keliru. Prasadam hendaknya dinikmati sampai habis oleh semua makhluk, baik itu manusia mupun hewan dan tumbuhan. Jangan perlakukan prasadam sebagai sampah yang harus dibuang yang pada gilirannya malah mengotori lingkungan.
Dalam hal ini kita patut mencontoh sikap teman saya. Sebelum makan dia selalu berdoa : Om brahmar panam brahma havir brahmagnau  brahmanahutam, brahma iva tena gantavyam brahma-karma-samadhina. Aham vaisvanaro bhutva praninam deham asritah, pranapana samayuktah pacamy annam catur-idham (Bhagavadgita IV-24 dan XV-14). Arti dari mantra tersebut yakni Brahman adalah persembahan itu, Brahman adalah mentega, yang dipersembahkan pada api Brahman, hanya kepada Brahmanlah ia yang mengetahui Brahman menghadap dalam kegiatan kerjanya (BG IV-24), setelah menjadi api dari badan makhluk hidup dan bersatu dengan keluar masuknya pernafasan, Aku cernakan empat jenis makanan itu (BG XV-14). Melalui mantra tersebut dia meyakini bahwa Tuhan adalah sumber dari semuanya termasuk makanan yang akan dia makan. Dia meyakini bahwa makanan itu adalah anugrah dari Tuhan. Karena itulah ketika dia makan dia tidak akan menyisakan walaupun itu hanya sebutir nasi. Baginya tidaklah benar menyianyiakan anugrah apalagi sampai membuangnya.
Dalam sistem filsafat Vira Saiva, diuraikan mengenai keutamaan dari prasadam. Jiwa orang yang mendapat prasadam akan tercerahkan. Perlahan orang yang sering menikmati prasadam akan mengetahui bahwa dia sesungguhnya adalah jiwa, bukan badan. Jiwa kemudian akan melakukan penyerahan diri secara total kepada Tuhan (bhakti). Dan dari bhakti tersebut jiwa akan mencapai kesatuan yang utuh dengan Tuhan. Pada tahap ini tidak akan ada lagi perbedaan antara jiwa dan Siwa (Aikyastala).
Untuk mencegah banyaknya limbah yang dihasilkan dari sisa upacara maka penyederhanaan sesajen sangat diperlukan. Dengan sederhananya banten maka sisa upakara yang dihasilkan menjadi lebih sedikit. Selain itu banten yang sederhana umumnya dibuat dalam waktu yang lebih sedikit sehingga lebih awet dibandingkan banten yang banyak. Dengan demikian sisa upakaranya masih dapat dinikmati.
Kita dapat mencontoh Meditasi Angka dalam hal ini. Di Meditasi Angka  banten yang dipergunakan sebagai sarana upakara adalah banten yang relatif sederhana tanpa mengurangi maknanya. Prasadamnya pun selalu habis dinikmati oleh para peserta meditasi dan tamu yang datang. Ini disebabkan mereka meyakini bahwa prasadam itu merupakan anugrah dari Dhunaguru (Tuhan Yang Maha Esa) yang penuh berkah. Demikian pula dengan abu hasil pembakaran di Akhanda Dhuna (sejenis khunda) yang dimanfaatkan dengan maksimal sebagai vibhuti. Vibhuti ini tidak pernah dibuang. Apabila  khunda penuh maka abunya diangkat dan disimpan. Beberapa orang mempergunakan untuk terapi untuk suatu penyakit, ada yang mempergunakannya sebagai penetralizir sifat-sifat negatif di lingkungannya, dan beberapa manfaat lainnya. Demikian pula dengan sisa upakara baik iu yang berupa canang atau sesajen lainnya. Sisa persembahan itu dipilah antara yang organik dan yang anorganik untuk kemudian diproses lebih lanjut sehingga ramah  lingkungan. Dengan begitu baik mikroorganisme maupun tumbuhan dapat ikut serta menikmati prasadam tersebut.
Demikian beberapa pemikiran dalam pengolahan sisa upakara yang perlu kita perhatikan. Pemikiran-pemikiran tersebut hendaknya kita dapat amalkan, sehingga konsep Tri Hita Karana yang kita pedomani tidak hanya sebatas wacana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar