Minggu, 11 Desember 2011

Kajian Banding Penelitian Ilmiah dengan Kitab Purana tentang Kiamat


na tv evaham jatu nasam na tvam neme janadhipah
na caiva na bhavisyamah sarve vayam atah param
Tiada pernah ada waktu di mana Aku tiadalah ada, juga engkau, bahkan tidak juga para raja yang hadir di sini, tiada juga pernah ada waktu di mana kita semuanya akan musnah
(Bhagavadgita II-12)

Isu kiamat pada akhir tahun 2012 benar-benar mengglobal. Hal ini ditambah dengan adanya film kiamat 2012 yang disutradarai oleh Rolland Emmerich. Kajian ilmiahpun ikutan membedahnya. Adalah Lawrence E.Joseph, penulis berdarah Lebanon yang menjabat sebagai Ketua Dewan Direksi Aerospace Consulting Corporation di New Mexico yang memaparkan dengan sangat jelas dan juga ilmiah tentang kemungkinan terjadinya bencana alam di tahun tersebut. Ada beberapa asumsi mengenai hal ini yaitu: siklus aktivitas matahari yang memuncak di tahun 2012 yang menyebabkan panas yang luar biasa di bumi, terlebih atmosfer kita sudah mengalami penipisan dan bolong di beberapa bagian sehingga selain memanaskan bumi dengan radikal juga melelehkan es di kutub dan juga menimbulkan badai serta topan yang dahsyat. Medan magnet bumi yang berfungsi sebagai pertahanan utama bumi terhadap radiasi sinar matahari mulai retak bahkan ada yang sampai sebesar kota California di sana-sini. Selain itu tata surya kita tengah memasuki medan awan energi antar bintang. Awan itu mengaktifkan dan merusak keseimbangan matahari serta atmosfer planet-planet. Para ahli geofisika Rusia berpendapat bahwa ketika bumi akan memasuki awan energi tersebut di tahun 2012 hingga 2020 dan akan menimbulkan bencana besar yang belum pernah ada sebelumnya. Fisikawan UC Berkeley menyatakan dinosaurus serta spesies lainnya telah punah akibat tumbukan asteroid raksasa 65 juta tahun silam. Menurut siklus yang diperhitungkan secara ilmiah, seharusnya hal itu sudah terjadi lagi di saat-saat sekarang. Supervulkan Yellowstone yang memiliki siklus letusan dahsyat setiap 600 hingga 700 ribu tahun tengah bersiap untuk meletus kembali. Beberapa perhitungan ilmiah lainnya turut mendukung pandangan ini.
Kajian ilmiah tersebut belum tentu pasti akan benar. Bisa saja terjadi kekeliruan penafsiran dan perhitungan. Terkadang ada hal-hal tertentu pula yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah. Kalaupun hal tersebut benar akan terjadi, bisa saja hal tersebut tidak sampai total menghancurkan bumi. Belum tentu bumi akan sepenuhnya hancur sampai tidak bisa ditinggali. Bencana tersebut bukanlah akhir dari kehidupan.
Ajaran Hindu sendiri tidak yakin akan terjadinya kiamat pada 2012. Dalam konsep Hindu konsep kiamat yang digambarkan sebagai penghancuran total di akhir jaman memang tidak dikenal. Konsep kiamat ini mungkin dapat disejajarkan dengan konsep pralaya. Tetapi dalam konsep Hindu pralaya ini bukanlah akhir dari kehidupan. Konsep penciptaan dan pralaya dalam Hindu merupakan suatu siklus. Ada penciptaan, ada kehidupan, kemudian terjadi pralaya, dan kembali lagi terjadi penciptaan (pratisarga). Namun demikian ada beberapa konsep pralaya yang dikenal dalam kitab-kitab Purana khususnya dalam Wisnu dan Brahmanda Purana, yaitu:
a. Nitya Pralaya (yang biasa) yakni pralaya yang terjadi setiap hari seperti hidup dan matinya semua mahluk. Gugurnya daun dan matinya sel-sel tubuh adalah bentuk-bentuk dari Nitya pralaya.
b. Naimitika Pralaya (secara periodik), mengambil bagian pada akhir sebuah Kalpa, yakni pada akhir satu set ribuan (Catur) Yuga. Brahma memulai menarik semua unsur alam semesta ke dalam diri-Nya. Terjadi kekeringan yang berkelanjutan ratusan tahun lamanya, matahari dengan 7 pancaran sinarnya membakar segala sesuatu dan semua samudra menguap. Api Samvartaka membakar Catur Loka (Bhur, Bhuvah, Svah dan Mahat). Selanjutnya mendung Samvartaka menebarkan hujan yang sangat deras dan segala sesuatu yang bergerak dan tidak bergerak hancur lebur menjadi satu dalam bentuk samudra luas membentang.
c. Prakrtika Pralaya terjadi pada saat berakhirnya periode Brahma, yakni pada Manwantara ke-14. Ketika itu berlangsung Pratyahara (tertariknya seluruh alam semesta) dalam waktu yang singkat, Bhuta (unsur materi yang kasar dan halus) langsung lenyap, evolusi Prakrti mulai dengan Mahat dan berakhir dengan Visesa hancur lebur. Air menelan sifat tertentu seperti bau di bumi, api di dalam air meluap sampai ke Akasa, yang kemudian bersatu ke dalam Bhutadi. Dalam hal ini, evolusi Prakrti menelan semua yang lebih rendah, sampai Mahat menyatu ke dalam Guna-samya (keseimbangan Guna). Hanya Atman yang tersisa. Proses leburnya kembali prinsip dasar (Tattva-samya) berulang-ulang kembali. Setelah itu akan terjadi penciptaan lagi dan memulai dengan manvantara pertama lagi
d. Àtyantika Pralaya bila seseorang mampu membebaskan dirinya melalui pengetahuan spiritual. Ia tidak mengambil wujud apapun, seperti halnya kecambah (tidak pernah muncul ke luar) ketika benih terbakar. Hal ini disebut penghancuran jalan spiritual (Titib, 2002:77).
Berdasarkan penjelasan tersebut, kiamat yang dimaksudkan tersebut dekat dengan pengertian Naimitika dan Prakrtika Pralaya. Naimitika akan terjadi pada akhir Kali Yuga ini sedangkan Prakrtika pada akhir Manvantara . Sekilas penggambaran Naimitika Pralaya memang mirip dengan ramalan ilmiah para ahli. Keduanya sama-sama memaparkan meningkatnya aktivitas matahari yang kemudian membakar bumi. Es mencair dan terjadi pula badai yang dasyat. Namun perlu diketahui bahwa saat ini Kali Yuga baru berumur 5111 tahun. Angka ini diperoleh dari penjumlahan 3.102 (awal Kali Yuga 3102 sebelum masehi) ditambah dengan 2009. Sedangkan menurut kitab Purana sendiri bahwa umur jaman Kali Yuga adalah 1200 tahun dewata atau setara dengan 432.000 tahun manusia. Dapat disimpulkan bahwa Naimitika Pralaya masih sangat jauh.
Demikian pula halnya dengan Prakrtika Pralaya. Prakrtika Pralaya diramalkan akan terjadi pada akhir Manvantara ke 14. Saat ini peredaran alam semesta baru berada pada Manvantara ke tujuh. Hal ini berarti bahwa peredaran alam semesta baru separuh jalan. Jadi Prakrtika Pralaya masih sangat jauh terjadi.
Yang mesti dipahami adalah bahwa bumi bukan satu-satunya tempat kehidupan. Bumi hanya sebagaian kecil dari alam semesta yang demikian luas. Dengan demikian masih ada peluang untuk hidup di bagian alam yang lain meskipun ramalan ilmiah tersebut benar-benar terjadi. Hal ini diperkuat lagi dengan ditemukannya bongkahan es di bulan yang menunjukkan adanya tanda-tanda air sehingga bulan dapat dihuni oleh manusia. Kemajuan dalam penjejalahan ruang angkasa mendukung hal ini.
Yang perlu kita pahami adalah waktu kita semakin hari semakin mendekati akhir jaman. Mari gunakan waktu yang tersisa ini untuk sebesar-besarnya ke arah pencapaian keinsyafan diri, melepaskan diri dari ikatan samsara. Gunakan waktu semaksimal mungkin untuk tujuan-tujuan pencapaian moksa. Hal ini dapat dilakukan dengan senantiasa mengingat nama-nama suci Tuhan dalam hati. Menurut Bhagawata Purana, mengingat nama-nama suci Tuhan adalah cara yang paling efektif namun sangat ampuh. Hal ini dapat dipraktekkan dengan melakukan rutinitas sehari-hari sambil mengingatnya.
Hal penting lain yang juga patut untuk dilaksanakan dengan segera adalah dengan aktif menjaga lingkungan. Hal ini dapat dilakukan dengan menanam pohon di masing-masing rumah untuk menghindari efek global warming. Global warming ini berakibat mencairnya es di kutub utara dan selatan serta menyebabkan perubahan iklim dan cuaca yang tidak bersahabat. Dengan menanam pohon dan menjaga kebersihan lingkungan maka emisi gas-gas yang memicu terjadinya global warming dapat ditekan dengan demikian diharapkan efeknya dapat dikurangi. Selain itu, banyak hal-hal kecil lain yang dapat kita lakukan, misalnya saja mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, menghemat penggunaan listrik, dan sebagainya. Semboyan Tri Hita Karana hendaknya jangan sebatas wacana. Mari aplikasikan dalam bentuk prilaku nyata dengan menjaga kelestarian dan kebersihan lingkungan kita.
Read More >>

Negara Semestinya Tidak Ikut Campur Urusan Beragama




Kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang paling hakiki. Beragama merupakan urusan pribadi manusia dengan Tuhannya. Dengan demikian maka sepantasnya Negara tidak mengatur masalah beragama seseorang. Setiap warga Negara berhak memilih keyakinan atau agama yang diyakininya entah itu Hindu, Islam, Kristen, Buddha, ataupun Kong Hu Chu. Menjadi seorang atheis pun semestinya tidak masalah, karena itu merupakan pilihan seorang warga Negara dalam berkeyakinan.
Ikut campurnya pemerintah dalam urusan beragama masyarakat dapat dilihat dari penentuan agama dan keyakinan yang diakui pemerintah. Hanya agama yang resmi diakui oleh pemerintah yang dapat melakukan aktivitas keagamaannya, sedangkan agama dan keyakinan yang illegal dibubarkan. Dengan disahkannya UU Pornografi oleh pemerintah, maka pemerintah juga terlihat ikut mengatur kehidupan pribadi masyarakatnya dengan membatasi mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Yang menyedihkan dalam hal ini adalah penentuan itu didasarkan atas ajaran satu kelompok keyakinan saja. Hal ini mengindikasikan lemahnya toleransi beragama masyarakat Indonesia. Agama yang mayoritas memaksakan ajarannya kepada agama minoritas.
Hal serupa juga terjadi di Bali yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Ada indikasi bahwa Hindu memaksakan umat non-Hindu untuk “melaksanakan” ritual Hindu. Hal ini dapat dilihat dari dilarangnya TV Nasional dan Radio siaran di Bali pada saat hari raya Nyepi yang lalu. Belum lagi ditutupnya jalan-jalan yang dijaga oleh para pecalang. Penentangan terhadap hal ini dapat dilihat dari status facebook Ibnu Rachal Farhansyah. Dalam statusnya ia menulis “Nyepi sepi sehari kaya tai”. Tanpa kita sadari kita sudah memaksakan umat non-Hindu untuk merayakan hari raya Nyepi.
Pro kontra terhadap hal ini cukup menarik. Beberapa kalangan berpendapat bahwa hal itu merupakan konsekwensi mereka yang tinggal di Bali. Nyepi sudah merupakan tradisi di Bali. Siapapun yang tinggal di Bali wajib ikut serta agar tidak mengganggu hikmat hari raya Nyepi. Sedangkan beberapa kalangan lain berpendapat bahwa hal itu tidak perlu. Nyepi intinya pengendalian diri sendiri. Jika kita memang serius ingin mengendalikan diri, maka sewajarnya kita tidak akan merasa terganggu. Biarkan orang lain melakukan aktivitasnya. Hal ini tidak terbatas pada Nyepi saja, melainkan di seluruh hari raya Hindu.
Pendapat pertama tersebut terasa egois dan tidak toleran terhadap umat lain. Yang menarik adalah pendapat kedua sehingga perlu kita maknai lebih dalam. Benar sekali bahwa pengendalian diri adalah salah satu hal penting dalam setiap ritual agama yang hendaknya dimulai dari diri sendiri. Pengendalian diri hanya dapat dilakukan dengan kesungguhan hati. Hendaknya kita focus mengendalikan diri terlebih dahulu sebelum kita mengajari orang lain melakukan hal yang sama. Kita tidak bisa memaksakan orang lain ikut melakukan hal tersebut.
Sesungguhnya ajaran mengenai pengendalian diri dalam setiap ritual keagamaan sudah diamanatkan oleh para leluhur kita. Pengendalian diri dalam ritual keagamaan sudah dimulai ketika kita mempersiapkan sesajen upacara. Sesajen upacara yang cukup banyak dan rumit untuk dibuat mengajarkan kita untuk belajar bersabar. Sebagai contoh kecil dalam membuat reringgitan sangat diperlukan kesabaran. Reringgitan inilah yang akan melatih kesabaran diri dan membuatnya semakin halus.
Dalam membuat sesajen tersebut kita diajarkan untuk membuatnya dengan perasaan perasaan yang bersih. Untuk itu para leluhur terdahulu kita mengajarkan kita agar mempersiapkan sesajen itu sambil menyanyi (dharma gita). Dharma gita ini akan membuat perasaan kita menjadi lebih tenang walaupun dihadapkan dengan beban kerja yang berat dalam membuat banten. Pengaturan nafas yang tepat saat berdharma gita akan mampu membuat kita menjadi lebih sabar dalam proses pembuatan sesajen.
Selain itu dalam setiap hari raya sangat ditekankan untuk melaksanakan brata.. Secara umum brata yang umumnya dilakukan yakni dengan jagra (tidak tidur), upawasa (tidak makan dan tidak minum), dan monabrata (tidak berbicara). Ketiga jenis brata ini merupakan bentuk pengendalian diri dalam suatu upacara keagamaan.
Jagra (tidak tidur) mengajarkan kepada kita untuk senantiasa waspada. Kita hendaknya senantiasa waspada terhadap segala perilaku kita agar tidak sampai menyakiti orang lain. Selain itu tidak tidur juga dapat diartikan sebagai bentuk untuk mengalahkan sifat-sifat manusia yang senantiasa malas.
Upawasa mengajarkan kita untuk mengendalikan indria terutama lidah. Sebagaimana diketahui bahwa lidah merupakan indra yang paling sulit dikendalikan.dan gerbang dari kebrobokan indra yang lainnya. Apa yang kita makan akan menentukan bagaimana karakter kita. Apabila kita makan makanan yang tamasika maka sifat kita menjadi malas dan pasif, dan apabila rajasika kita akan cenderung menjadi aktif, penuh nafsu, dan mudah marah. Berbeda halnya dengan makanan yang Satwikka yang akan mengantarkan kita kepada keluhuran buddhi dan kebijaksanaan. Makanan jenis inilah yang hendaknya kita konsumsi apabila kita menginginkan sifat-sifat kedamaian ada pada diri kita. Upawasa juga mengajarkan kita untuk senantiasa menghargai setiap anugrah dari Tuhan yang berupa makanan. Melalui puasa kita akan belajar bagaimana rasanya kelaparan dan kehausan. Dengan demikian kita akan memahami bagaimana semestinya menghargai setiap makanan yang ada.
Monabrata atau puasa tidak berbicara mengajarkan kita untuk menjadi hening. Kita hendaknya bermeditasi dan merenungkan apa-apa yang sudah kita perbuat. Seberapa banyak kita melakukan dharma? Dan sejauh mana kita sudah berjalan di jalan yang salah? Dengan duduk hening tanpa kata maka kita akan bisa menyadari keagungan dari Tuhan.
Disamping itu, ada pula bentuk pengendalian diri lain yang berupa pengurangan aktivitas dalam bentuk Catur Brata Penyepian. Catur Brata Penyepian ini mengajak kita untuk mengendalikan sikap prilaku agar tidak dipengaruhi oleh api amarah (kroda) dan loba (serakah). Kita juga ditekankan untuk mengurangi aktivitas kerja. Kita ditekankan untuk melakukan introspeksi diri mengenai kegiatan kerja yang kita lakukan dengan merenungkan apakah kerja yang kita lakukan sudah sesuai dengan dharma. Brata ini juga mengajak kita untuk mengurangi aktivitas keluar rumah dan menikmati hiburan-hiburan yang memanjakan indria. Indria-indria kita yang haus akan segala kenikmatan duniawi hendaknya dilatih terus menerus sehingga mampu untuk dikendalikan dan tidak menjadi terikat dengannya.
Pengendalian diri seperti ini hendaknya tidak hanya dilakukan pada hari raya-hari raya keagamaan saja. Pengendalian diri tersebut hendaknya diusahakan diamalkan setiap hari sehingga kita lebih mampu dalam melakukan pengendalian diri. Dengan demikian diharapkan kita menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari.
Read More >>