Kamis, 15 Desember 2011

Pitra Yadnya: Lebih Cepat Lebih Baik



Asato ma sad gamaya
Tamaso ma jyotir gamaya
Mrtyor ma amrtam gamaya

“Ya Tuhan bimbinglah kami dari ketidakbenaran menuju kebenaran
Dari kebodohan menuju kebijaksanaan
Dari kematian menuju keabadian”

Upacara Panca Bali Krama kembali digelar. Upacara besar ini mendapat sambutan yang sangat baik dari krama Bali terbukti dengan besarnya antusias mereka ngayah selama berlangsungnya karya ini. Berbagai persiapan dilaksanakan dengan cepat. Dan untuk menjaga kesucian alam Bali, selama berlangsungnya karya ini  masyarakat Bali dilarang untuk melakukan upacara Ngaben.
Pelarangan Ngaben ini patut disikapi. Benarkah Ngaben dapat merusak kesucian alam yang diperlukan selama berlangsungnya karya? Tidakkah sawa yang disimpan menunggu selesainya karya malah akan memberikan vibrasi negatif?
Menurut Grhya Sutra dan Wedanta, badan orang yang meninggal semestinya segera diupacarai. Ketika meninggal badan fisik (Annamayakosa) akan ditinggalkan oleh atma. Atma kemudian akan menggunakan badan esteris (Pranamayakosa). Jika badan fisik tersebut tidak segera mendapat upacara maka atma akan sangat lama terikat dengan badan esteris. Ketika masih terikat dengan badan esteris atma masih terikat dengan unsur-unsur keduniwian. Atma akan sangat sulit untuk melangkah ke badan astral (Manomayakosa) dalam proses perjalanan jiwa menuju kematian. Hal ini sangat rentan menjadikan atma sebagai preta atau bhuta cuil dalam keyakinan masyarakat Bali.
Ketika atma menjadi preta, maka atma akan mempunyai sifat-sifat negatif seperti keinginan untuk membalas dendam, mengganggu orang dan sebagainya. Atma akan menjadi semakin terpuruk dalam awidya. Preta memberikan vibrasi negatif  bagi alam. Pengalaman kami yang pernah menyimpan sawa dalam waktu yang lama mengakibatkan suasana rumah menjadi mencekam. Beruntung kami dibantu oleh beberapa teman sehingga vibrasi-vibrasi buruk itu dapat dinetralisir.
Cerita tentang penderitaan atma putra Raja Sagara yang meninggal akibat kemarahan Rsi Kapila dalam penggalan cerita turunnya Gangga ke dunia seperti yang terdapat dalam kitab Purana hendaknya dapat dijadikan pelajaran. Diceritakan bahwa keenam ribu putra Raja Sagara menuduh Rsi Kapila mencuri kuda yang dipergunakan dalam upacara Aswameda yang dilakukan oleh Raja Sagara. Rsi Kapila yang marah kemudian membakar mereka semua sehingga menjadi tumpukan abu. Untuk menyucikan roh mereka semua maka diperlukan  air suci Gangga. Karena penyesalannya Raja Sagara melaksanakan tapa untuk menurunkan Gangga ke dunia. Tapi Raja Sagara gagal.  Hal ini kemudian dilanjutkan oleh putranya yang bernama Amshuuman. Raja Amshumanpun gagal. Penurunan Gangga kemudian dilanjutkan oleh putranya yakni Raja Dilipa, namun masih tetap gagal. Gangga baru berhasil diturunkan ke bumi oleh putranya yakni Raja Bhagiratha. Raja Bhagiratha juga memuja Dewa Siwa agar Beliau berkenan meredam Gangga yang turun dari sorga sehingga dunia tidak hancur karenanya. Dengan turunnya Gangga, maka atma leluhurnya menjadi tersucikan sehingga  dapat bereinkarnasi kembali.
Mengingat menderitanya atma orang yang upacara kematiannya ditunda seperti itu, semestinya  pelaksanaan upacara kematian tidak ditunda-tunda. Lebih cepat lebih baik. Dengan upacara atma orang yang meninggal diharapkan tidak sempat terikat kembali dengan hal-hal duniawi sehingga tidak menghambat perjalanan jiwa mereka menuju  reinkarnasi kembali. Bisa jadi dengan penundaan upacara Ngaben ketika terdapat  upacara Panca Bali Krama menjadikan atma semakin sedih dan menyesal secara mendalam terhadap kematiannya karena mereka meninggal sebelum sempat ngayah. Penundaan seperti itu bisa jadi sangat rentan menjadikan para atma sebagai bhuta cuil atau preta.
Penundaan upacara Pitra Yadnya bagi orang yang meninggal tentunya juga berdampak buruk bagi keluarga yang ditinggalkan. Secara ekonomi keluarga yang ditinggalkan perlu mengeluarkan biaya yang berlebih untuk mengurus sawa yang ada di rumahnya misalnya saja biaya untuk mengawetkan jenasah. Selain itu keluarga juga perlu mengeluarkan biaya untuk menjamu tamu yang bertandang ke rumahnya untuk melayat. Penundaan pelaksanaan Pitra Yadnya juga berdampak buruk bagi psikologis keluarga yang ditinggalkan. Keluarga tentunya akan lebih lama memendam kesedihan. Secara psikologis pula keluarga akan menjadi tertekan karena upacara bagi sanak keluarganya tidak bisa segera dilaksanakan. Tidak bisa segera sembahyang ke pura Besakih tentunya juga menambah beban psikologis.
Melihat buruknya efek yang ditimbulkan oleh penundaan pelaksanaan Pitra Yadnya maka larangan tersebut hendaknya dikaji kembali. Memelihara kesucian alam Bali ketika karya Panca Bali Krama hendaknya dilakukan secara lebih logis dan manusiawi sesuai dengan ajaran filsafat Hindu. Hendaknya kita semua sebagai warga Bali ikut aktif menjaga kesucian alam Bali.Memelihara kesucian alam Bali dapat dilakukan dengan melakukan optimalisasi peran Tri Sadhaka. Tri Sadhaka tidak hanya diperlukan dalam muput karya Panca Bali Krama, Tri Sadhaka juga hendaknya berperan aktif dalam membersihkan alam (Tri Bhuwana). Sulinggih Bujangga optimal membersihkan Bhur Lokha, Sulinggih Budha membersihkan Bwah Lokha dan Sulinggih Siwa aktif membersihkan Swah Lokha. Kewajiban Sulinggih melaksanakan Surya Sewana di pagi hari dalam usaha untuk membersihkan alam hendaknya dilakukan dengan all out. Demikian juga dengan para walaka semuanya hendaknya ikut menjaga kesucian diri dan  lingkungan dengan menjaga pikiran, perkataan, dan perbuatan agar senantiasa sesuai dengan ajaran etika Hindu.
Read More >>