Senin, 19 Desember 2011

Melanggar HAM Demi Surga





Beberapa hari yg lalu kita memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM). Peringatan ini mempunyai arti yg penting bagi Negara kita mengingat Negara kitalah yg pertama kali mencantumkan pokok-pokok perlindungan hak-hak asasi manusia ke dalam UUD-nya, jauh sebelum PBB dengan Declaration of Human Right-nya. Namun demikian ternyata masih banyak kesenjangan antara pelaksanaan UUD tersebut dengan prakteknya di masyarakat.
Masih segar dalam ingatan kita Tragedi Semanggi dan Tri Saksi yang menelan banyak korban mahasiswa yang terbungkam kebebasan menyatakan pendapatnya. Atau kalau tidak mungkin anda tentu mengingat kasus Munir, seorang aktivis HAM yang dibunuh, tetapi pelakunya dapat bebas dengan seketika. Kedua kasus pelanggaran HAM tersebut hanyalah sebagian kecil contoh-contoh pelanggaran HAM di negeri ini. Apabila kita jeli menyimak maka kita akan menemukan ribuan pelanggaran HAM yang telah terjadi selama perjalanan pemerintahan di Indonesia baik dari jaman Orde Baru sampai sekarang. Hal tersebut merupakan bukti nyata lemahnya penegakan hukum di Negara kita.
Ranah agamapun tidak ketinggalan memberikan andil dalam pelanggaran HAM ini. Kaum agamawan yang selama ini dihormati dan dianggap  suci ternyata masih saja bertindak menyimpang. Memang hal yang manusiawi bila kita berbuat salah, namun sangatlah bodoh apabila kita yang sudah berulang kali diberi tahu namun tetap tidak mengerti.
Kasus pelanggaran HAM berat di negeri ini yang dari masa ke masa tidak henti-hentinya yaitu konversi agama. Pemaksaan terhadap keyakinan kita agar dianut oleh orang lain sudah jelas-jelas dilarang oleh UUD karena keyakinan terhadap suatu agama diyakini sebagai keyakinan yang paling hakiki karena menyangkut hubungan manusia secara pribadi dengan Tuhannya.
Seringkali agama-agama kecil dikonversi agar masuk suatu agama tertentu. Pemerintah yang seharusnya menegakkan hak-hak asasi manusia seolah diam saja. Pemerintah seolah tidak punya taring mengingat pengaruh kuatagama tersebut di politik.
Kita dapat belajar dari sejarah dari keruntuhan kerajaan Majapahit. Dari cerita Sabda Palon kita dapat mengetahui bagaimana keruntuhan kerajaaan terbesar Siwa-Budha ini. Kerajaan Majapahit jatuh ke tangan Kerajaan Muslim karena Raja Brawijaya yang kala itu memerintah Majapahit dikhianati oleh Kerajaan Demak yang diperintah oleh anaknya sendiri, Raden Patah. Sungguh sangat ironis alasan di balik itu semua. Ternyata bagi Raden Patah membasmi orang-orang “kafir” merupakan amal baik yang sangat tinggi dan mereka yang melakukan itu akan hidup di Surga. Hal tersebut membuat saya bertanya-tanya: Apakah agama sekarang sudah demikian jauhnya dari dharma sehingga seorang anak berani melawan ayahnya sendiri hanya demi kenikmatan  Surga? Adakah kebahagiaan bagi mereka yang membunuh anggota keluarganya sendiri? Mungkin akan lebih baik apabila kita tidak beragama saja daripada berani melawan orang tua. Adalah dharma seorang anak untuk menghormati orangtuanya.
Kita dapat belajar dari Yudistira, Pandawa tertua mengenai bagaimana semestinya menghormati orangtua. Diceritakan dalam cerita Mahabharata bahwa demi menjaga kata-kata dan kehormatan ibunya Kunti, Pandawa bersaudara menikahi Draupadi. Ketika itu merupakan hal yang tidak lumrah apabila seorang istri bersuami lebih dari satu orang. Dharmasastra juga mengatakan demikian. Namun bagi Pandawa, Ibunya lebih penting daripada Dharmasastra apapun. Taitriya Upanisad mengatakan orangtua merupakan perwujudan Tuhan di dunia yang mesti dihormati(Mrta dewa bhawa, Prta dewa bhawa).
Sedangkan di era globalisasi ini masih ada saja pelanggaran HAM karena “perebutan Surga”.
Kita dapat lihat kasus-kasus di Poso, Maluku, dan beberapa daerah konflik lainnya yang masing-masing mengklaim sebagai agama yang paling benar dan kemuliaan bagi mereka yang berhasil membawa penganut baru ke dalam agamanya. Adakah Surga bagi mereka yang menyakiti orang lain? Yogasara Samgraha mengatakan “Ahimsayah paro dharma”, Dharma yang paling tinggi nilainya adalah tidak menyakiti, baik dari segi pikiran, perkataan, maupun perbuatan.
Mungkin kita perlu rembug bersama akan apa yang dinamakan kafir dan bidah itu sesungguhnya sehingga kasus-kasus pelanggaran HAM atas nama Surga tidak terjadi lagi. Saya yakin kalau semua agama mengajarkan tentang kebijaksaan agar berbuat santun, jujur, dan menghindari perbuatan tercela. Mungkin pemahaman kita yang sepotong-sepotong terhadap agama kita dan agama orang lain yang seringkali menyebabkan kita bertindak ekstrim seperti itu. Dengan adanya pemahaman yang benar terhadap keyakinan orang lain maka kita akan mengormati keyakinan orang tersebut. Semoga kasus-kasus pelanggaran HAM karena masalah perbedaan agama tidak terjadu\i lagi di masa mendatang.
Read More >>