Tampilkan postingan dengan label Spiritual. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Spiritual. Tampilkan semua postingan

Senin, 26 Agustus 2013

Kitab Hindu Versi Android

02

Sebuah Kebutuhan di Era Modern, Tersedia dalam berbagai Versi Digital

Perkembangan teknologi informasi komunikasi dewasa ini sangatlah pesat. Perkembangan itu ditandai dengan cepatnya perkembangan perangkat-perangkat komunikasi dan makin terjangkaunya jaringan internet. Hal ini tak ayal merubah gaya hidup masyarakat. Kalau dahulu orang memakai surat sebagai sarana berkomunikasi jarak jauh sekarang ini peran surat tersebut digantikan oleh email, sms, atau telepon. Contoh lain misalnya pada jaman dahulu di era internet belum populer anak-anak sekolah mengerjakan tugas sekolah dengan mencari bahan di buku-buku sekarang ini anak sekolah cenderung menggunakan internet. Tinggal login ke website mesin pencari kemudian ketikkan kata kunci pencarian maka dengan segera informasi yang dicari tersebut tersaji.

Pemanfaatan perkembangan teknologi informasi juga dimanfaatkan dalam kehidupan beragama. Dalam kehidupan beragama teknologi informasi digunakan untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama. dengan demikian ajaran agama tersebut dapat disampaikan secara lebih cepat dan menjangkau daerah yang lebih luas. Pemanfaatan teknologi informasi dalam kehidupan beragama salah satunya dengan mendigitalisasi kitab suci menjadi sebuah aplikasi (software) komputer maupun handphone.
Melalui digitalisasi ini kitab suci yang biasanya dibaca melalui buku dapat dibaca melalui komputer atau handphone. Kelebihan dari digitalisasi ini yakni membuat kegiatan belajar kitab suci lebih menyenangkan dan praktis. Kitab suci digital lebih menyenangkan dipelajari karena di dalamnya dimasukkan fitur-fitur tambahan yang menghibur dan design / tampilan programnya menarik.
Sedangkan sisi praktis dari kitab suci digital yaitu adalah fitur pencarian sehingga pengguna aplikasi tersebut hanya perlu mengetikkan kata kunci dan aplikasi tersebut kemudian akan menampilkan ayat-ayat yang berhubungan dengan kata kunci yang dicari. Pada aplikasi handphone tentu kitab suci digital lebih praktis dibawa kemana-mana.

Pendigitalisasian kitab suci ini sangat lumrah kita temui di agama Islam maupun Kristen. Sangat banyak aplikasi-aplikasi yang  memuat Alkitab maupun Al’quran baik yang dapat diakses melalui handphone maupun computer. Aplikasi-aplikasi ini sangat didukung oleh majelis keagamaan mereka.
 Sementara di agama Hindu sendiri sebenarnya juga tidak kalah. Banyak sekali aplikasi-aplikasi Hindu yang sudah beredar hanya saja kebanyakan aplikasi-aplikasi tersebut masih berbahasa Inggris. Aplikasi Hindu berbahasa Indonesia  memang belum banyak ada karena kekurangtertarikan pengembang software untuk membuatnya. Barulah pada tahun 2012 aplikasi Hindu mulai beredar. Aplikasi ini dibuat oleh Sdr. I Ketut Agus Muliana seorang dosen tidak tetap di Institut Hindu Dharma Denpasar. Ada empat aplikasi yang sudah dibuatnya sejak tahun 2011 yaitu Bhagawadgita For Universe (untuk komputer), Sarasamusccaya Digital (untuk komputer), Sarasamusccaya For Android (untuk perangkat berbasis android), dan Mantra dan Doa Sehari-hari Hindu (untuk perangkat berbasis android).

Bhagawadgita For Universe
Aplikasi ini mulai dibuat pada Februari 2011. Aplikasi ini akhirnya selesai setahun kemudian di bulan yang sama. Aplikasi ini dinamakan Bhagawadgita For Universe untuk mengakomodir semua ide (masukan) terhadap aplikasi ini baik mereka yang ingin mempertahankan ciri khas Hindu Bali maupun Hindu global. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan simbol omkara versi Bali maupun versi global secara bersamaan. Unsur Bali juga dapat dilihat dari ornamen patra yang dapat dilihat di tiap bab.
Aplikasi ini memuat beberapa fitur yaitu :


  1. Adanya teks devanagari (sansekerta). dengan adanya teks devanagari diharapkan pengguna  software ini mampu belajar aksara devanagari secara mandiri.
  2. Adanya alih aksara lengkap dengan tanda diakritic. bagi pengguna yang tidak bisa membaca aksara devanagari dapat membaca alih aksaranya. Dalam bahasa Kawi dan Sansekerta peran tanda diacritic sangatlah penting. Ketiadaan tanda diacritic akan menimbulkan makna yang berbeda. Sebagai contoh kata bala dalam bahasa Sansekerta.  Ketika ditulis “bala” seperti biasa, kata tersebut akan bermakna  kekuatan, tetapi ketika ditulis dengan “bāla” artinya berubah menjadi  anak laki-laki dan ditulis “bālā” artinya menjadi anak perempuan. Melalui tanda diacritic juga para pengguna belajar bagaimana pasang pageh dari suatu kata bahasa Kawi dan Sansekerta semestinya ditulis. Pengucapan kata dalam sloka juga disesuaikan dengan tanda diacritic sehingga sloka tersebut dibaca dengan benar.
  3. Adanya  fasilitas audio. Pengguna aplikasi ini hanya tinggal menekan tombol  play  maka contoh pembacaan sloka tersebut akan terdengar. Fitur ini merupakan keunggulan tersendiri di mana masih jarang aplikasi digital menerapkannya. Melalui fitur ini pengguna dapat belajar cara menyanyikan sloka-sloka Bhagawadgita melalui contoh audio yang sudah ada. Hal ini tentu akan sangat membantu umat dalam belajar kitab suci secara lebih menarik.

  4. Adanya fasilitas pencarian kata. Melalui fasilitas ini pengguna hanya perlu mengetikkan kata kunci yang dicari. System akan secara otomatis menampilkan list  dari sloka-sloka yang memuat kata kunci tersebut. Aplikasi ini sangat penting untuk memperdalam aspek-aspek ajaran Bhagawadgita secara lebih cepat.
  5. Adanya fasilitas favorite. Fasilitas favorite merupakan sebuah fitur penyimpanan sloka. dengan menambahkan sloka ke dalam fasilitas favorite maka sloka tersebut akan dapat dipanggil ketika diinginkan secara lebih cepat. Fitur ini sekaligus dapat mengingatkan kajian (isi) suatu sloka dengan  menamakannya sesuai dengan keinginan. Misalnya bila pengguna dapat menyimpan sloka Bab IX.26 dengan Sarana Upacara sesuai dengan isi sloka tersebut.
 o1

Sarasamusccaya Digital
Sarasamusccaya Digital dikembangkan pada tahun 2012. Aplikasi ini dikhususkan untuk  komputer bersystem operasi Windows. Fitur-fitur dalam aplikasi ini hampir sama dengan Bhagawadgita For Universe hanya saja aplikasi ini belum mempunyai fitur audio.


   Sārasamusccaya Digital

Sarasamusccaya For Android

Aplikasi Sarasamusccaya For Android hampir dikembangkan pada tahun 2013. Secara umum hampir sama dengan Sarasamusccaya Digital hanya saja aplikasi ini dikhususkan untuk perangkat berbasis Android.

04
  Sarasamusccaya For Android
Mantra dan Doa Sehari-hari Umat Hindu
Aplikasi ini juga dikembangkan dari tahun 2013. Aplikasi ini dikhususkan untuk perangkat Android. Di dalam aplikasi ini terdapat Mantra-mantra untuk persembahyangan termasuk juga mantra-mantra khusus di pura-pura tertentu sesuai dengan Ista Dewatanya. Selain itu di dalam aplikasi ini terdapat pula doa-doa sehari-hari mulai dari doa bangun tidur sampai doa menjelang tidur. 
05 o7
 Mantra dan Doa Sehari-hari Hindu & Icon Sarasamusccaya dan Mantra Hindu pada Android

Aplikasi-aplikasi tersebut adalah sebuah langkah awal dalam usaha digitalisasi kitab suci Hindu. Ke depan tentunya kita semua berharap seluruh kitab Weda baik Ṣruti maupun Smṛti semuanya dapat digitalisasi. Semoga semakin banyak bermunculan aplikasi-aplikasi sejenis yang mampu membimbing umat Hindu memperdalam ajaran agamanya.
Read More >>

Sabtu, 15 September 2012

Program Bhagawadgita untuk Komputer

Telah terbit program Bhagawadgita For Universe sebuah program komputer yang memuat kitab Bhagawadgita secara digital. Program Bhagawadgita For Universe ini dilengkapi dengan beberapa fitur :
1. Aksara Devanagari
2. Alih Aksara lengkap dengan tanda diakritis
3. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia
4. Chanting sloka, memungkinkan pengguna belajar bagaimana menyanyikan sloka-sloka Bhagawadgita
5. Pencarian sloka / kata yang terdapat dalam Bhagawadgita
6. Penyimpanan sloka favorite
Untuk pemesanan silakan hubungi :
Agus Muliana
Jalan Antasura 47 Denpasar
HP : 081936075432
email : agusmuliana@gmail.com
blog : http://www.ketutagusmuliana.tk
twitter : @agusmuliana
Semoga program ini dapat membantu Anda untuk memperdalam ajaran agama. Terimakasih
Read More >>

Senin, 19 Desember 2011

Melanggar HAM Demi Surga





Beberapa hari yg lalu kita memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM). Peringatan ini mempunyai arti yg penting bagi Negara kita mengingat Negara kitalah yg pertama kali mencantumkan pokok-pokok perlindungan hak-hak asasi manusia ke dalam UUD-nya, jauh sebelum PBB dengan Declaration of Human Right-nya. Namun demikian ternyata masih banyak kesenjangan antara pelaksanaan UUD tersebut dengan prakteknya di masyarakat.
Masih segar dalam ingatan kita Tragedi Semanggi dan Tri Saksi yang menelan banyak korban mahasiswa yang terbungkam kebebasan menyatakan pendapatnya. Atau kalau tidak mungkin anda tentu mengingat kasus Munir, seorang aktivis HAM yang dibunuh, tetapi pelakunya dapat bebas dengan seketika. Kedua kasus pelanggaran HAM tersebut hanyalah sebagian kecil contoh-contoh pelanggaran HAM di negeri ini. Apabila kita jeli menyimak maka kita akan menemukan ribuan pelanggaran HAM yang telah terjadi selama perjalanan pemerintahan di Indonesia baik dari jaman Orde Baru sampai sekarang. Hal tersebut merupakan bukti nyata lemahnya penegakan hukum di Negara kita.
Ranah agamapun tidak ketinggalan memberikan andil dalam pelanggaran HAM ini. Kaum agamawan yang selama ini dihormati dan dianggap  suci ternyata masih saja bertindak menyimpang. Memang hal yang manusiawi bila kita berbuat salah, namun sangatlah bodoh apabila kita yang sudah berulang kali diberi tahu namun tetap tidak mengerti.
Kasus pelanggaran HAM berat di negeri ini yang dari masa ke masa tidak henti-hentinya yaitu konversi agama. Pemaksaan terhadap keyakinan kita agar dianut oleh orang lain sudah jelas-jelas dilarang oleh UUD karena keyakinan terhadap suatu agama diyakini sebagai keyakinan yang paling hakiki karena menyangkut hubungan manusia secara pribadi dengan Tuhannya.
Seringkali agama-agama kecil dikonversi agar masuk suatu agama tertentu. Pemerintah yang seharusnya menegakkan hak-hak asasi manusia seolah diam saja. Pemerintah seolah tidak punya taring mengingat pengaruh kuatagama tersebut di politik.
Kita dapat belajar dari sejarah dari keruntuhan kerajaan Majapahit. Dari cerita Sabda Palon kita dapat mengetahui bagaimana keruntuhan kerajaaan terbesar Siwa-Budha ini. Kerajaan Majapahit jatuh ke tangan Kerajaan Muslim karena Raja Brawijaya yang kala itu memerintah Majapahit dikhianati oleh Kerajaan Demak yang diperintah oleh anaknya sendiri, Raden Patah. Sungguh sangat ironis alasan di balik itu semua. Ternyata bagi Raden Patah membasmi orang-orang “kafir” merupakan amal baik yang sangat tinggi dan mereka yang melakukan itu akan hidup di Surga. Hal tersebut membuat saya bertanya-tanya: Apakah agama sekarang sudah demikian jauhnya dari dharma sehingga seorang anak berani melawan ayahnya sendiri hanya demi kenikmatan  Surga? Adakah kebahagiaan bagi mereka yang membunuh anggota keluarganya sendiri? Mungkin akan lebih baik apabila kita tidak beragama saja daripada berani melawan orang tua. Adalah dharma seorang anak untuk menghormati orangtuanya.
Kita dapat belajar dari Yudistira, Pandawa tertua mengenai bagaimana semestinya menghormati orangtua. Diceritakan dalam cerita Mahabharata bahwa demi menjaga kata-kata dan kehormatan ibunya Kunti, Pandawa bersaudara menikahi Draupadi. Ketika itu merupakan hal yang tidak lumrah apabila seorang istri bersuami lebih dari satu orang. Dharmasastra juga mengatakan demikian. Namun bagi Pandawa, Ibunya lebih penting daripada Dharmasastra apapun. Taitriya Upanisad mengatakan orangtua merupakan perwujudan Tuhan di dunia yang mesti dihormati(Mrta dewa bhawa, Prta dewa bhawa).
Sedangkan di era globalisasi ini masih ada saja pelanggaran HAM karena “perebutan Surga”.
Kita dapat lihat kasus-kasus di Poso, Maluku, dan beberapa daerah konflik lainnya yang masing-masing mengklaim sebagai agama yang paling benar dan kemuliaan bagi mereka yang berhasil membawa penganut baru ke dalam agamanya. Adakah Surga bagi mereka yang menyakiti orang lain? Yogasara Samgraha mengatakan “Ahimsayah paro dharma”, Dharma yang paling tinggi nilainya adalah tidak menyakiti, baik dari segi pikiran, perkataan, maupun perbuatan.
Mungkin kita perlu rembug bersama akan apa yang dinamakan kafir dan bidah itu sesungguhnya sehingga kasus-kasus pelanggaran HAM atas nama Surga tidak terjadi lagi. Saya yakin kalau semua agama mengajarkan tentang kebijaksaan agar berbuat santun, jujur, dan menghindari perbuatan tercela. Mungkin pemahaman kita yang sepotong-sepotong terhadap agama kita dan agama orang lain yang seringkali menyebabkan kita bertindak ekstrim seperti itu. Dengan adanya pemahaman yang benar terhadap keyakinan orang lain maka kita akan mengormati keyakinan orang tersebut. Semoga kasus-kasus pelanggaran HAM karena masalah perbedaan agama tidak terjadu\i lagi di masa mendatang.
Read More >>

Minggu, 18 Desember 2011

Strategi Pembelajaran Agama Hindu Melalui Media Teknologi Informasi Komunikasi




Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dewasa ini sangatlah cepat. Hal ini dapat kita lihat dari makin berkembangnya perangkat computer beserta softwarenya,  membanjirnya warnet-warnet di perkotaan, dan makin banyaknya pengguna handphone yang  disertai dengan makin murahnya tarifnya. Tentunya hal tersebut tidak terlepas dari kebutuhan masyarakat akan teknologi ini sehingga seperti sudah menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditoleransi lagi. Dengan TIK mereka dapat memperoleh informasi secara  cepat dan murah.
Dunia pendidikan hendaknya melirik penggunaan TIK dalam upaya pengembangannya. TIK sangat diperlukan dalam membangun pendidikan yang berkualitas. Hal tersebut misalnya dengan menggunakan TIK sebagai media pembelajaran. Disamping itu dapat pula dipergunakan sebagai media memperoleh pengetahuan melalui internet. Dengan TIK, para murid tentunya akan lebih mudah memperoleh informasi dari internet daripada mencari-cari bahan pelajaran lewat buku di perpustakaan. Demikian pula guru, ia akan lebih gampang dalam memperoleh bahan ajar yang diperlukan.
Begitu pula halnya dengan system pembelajaran agama Hindu. Selama ini, pelajaran agama Hindu cenderung dinomorduakan oleh para murid. Akibatnya sudah dapat kita lihat sekarang ini. Orang Hindu tidak mengerti akan ajaran agamanya sendiri, dan lebih jauh lagi mereka mempunyai moral yang bobrok. Untuk itu diperlukan berbagai upaya untuk menarik minat para generasi muda Hindu yang salah satunya melalui media TIK. Diharapkan dengan integrasi TIK ke dalam system pendidikan Hindu sebagai media pembelajaran, minat generasi muda Hindu terhadap pelajaran agama dapat ditingkatkan. Dengan demikian diharapkan system pelajaran agama Hindu dapat melahirkan generasi muda Hindu yang berkualitas baik dari segi pengetahuan agama maupun moral yang baik.
             Dalam proses pengajaran seorang guru dapat menggunakan TIK sebagai media dengan menyajikan materi pelajaran melalui penggunaan komputer disertai LCD projector. Dalam penyajiannya seorang guru hendaknya membuat slide show yang menarik, misalnya dengan menyelipkan gambar-gambar dan suara yang menarik. Dapat pula seorang guru dapat memutar sebuah film tertentu yang mendukung materi pelajaran. Misalnya dalam menjelaskan cerita Ramayana dan Mahabharata dengan memutar film tersebut. Hal ini merupakan inovasi yang hendaknya dipikirkan mengingat selama ini para siswa cenderung mengantuk apabila gurunya sendiri yang bercerita cerita Itihasa tersebut.
            Penggunaan media ini disamping mampu menarik minat belajar anak, juga mampu meningkatkan daya tangkap anak terhadap  materi yang diberikan. Selama ini materi pelajaran agama hanya disajikan melalui ceramah di depan kelas yang terkadang  kurang dimengerti dan membosankan. Melalui media TIK ini, maka siswa akan mampu menyerap pelajaran yang diberikan karena siswa tidak hanya menangkap pelajaran melalui suara dari guru, tetapi sekaligus gambaran ilutrasi yang dapat dilihat langsung melalui gambar atau video yang ditayangkan. Inilah kelebihan media TIK yang mampu menjadi media audio visual.
Selain melalui media, TIK juga mampu membantu seorang guru atau siswa dalam mencari bahan pelajaran. Hal ini sangatlah membantu mengingat masih terbatasnya buku-buku Hindu di pasaran, yang terkadang juga tidak dapat dijangkau oleh para siswa. Melalui internet, seorang guru atau siswa dapat memperoleh informasi tersebut dengan mudah dan murah. Beberapa situs dalam negeri seperti halnya situs Parisada bahkan menyediakan pustaka Weda beserta susastranya yang dapat didownload secara gratis. Situs-situs dari luar negeri bahkan menyediakan informasi yang lebih banyak, hanya saja umumnya kita masih mengalami kendala dalam masalah bahasa.
            Namun demikian ada beberapa kendala dalam penerapannya. Penggunaan media ini masih terkendala sarana dan prasarana terutama bagi guru-guru di pelosok pedesaan. Disamping itu SDM guru umumnya belum memahamahi TIK. Mudah-mudahan dengan adanya komitmen dari pemerintah untuk memajukan pendidikan, maka kendala sarana dan prasarana tersebut dapat segera teratasi. Pemerintah juga hendaknya melatih para guru agar mengenal TIK sehingga mereka dapat mengajar dengan lebih baik.
            Ke depannya diharapkan Parisada mampu memberikan informasi secara lebih maksimal kepada umat melalui tambahan pustaka-pustaka yang lain ke dalam situsnya. Parisada juga hendaknya mampu memberikan informasi-informasi keutamaan secara yang actual di situsnya Dharma Wacana, tanya jawab seputar Hindu, dan artikel-artikel hendaknya ditingkatkan. Demikian pula dengan situs-situs Hindu yang dibuat oleh lembaga atau organisasi Hindu yang lain juga hendaknya ikut serta berperan aktif dalam mencerdaskan umat.
            Mengingat belum semua umat paham akan internet dan juga belum meratanya  layanan internet tersebut di daerah-darah, Parisada juga hendaknya membuat layanan sms (short message service) yang lebih familiar untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan umat. Kita dapat belajar dari umat Muslim yang sangat jeli memahami hal ini. Semoga di masa mendatang pemahaman umat akan ajaran Hindu dapat ditingkatkan
Read More >>

Konflik Beragama: Perlukah Indonesia Menjadi Negara Sekuler?




Hari Lahir  Pancasila tahun ini harus dikenang dengan pahit. Betapa tidak hari  dimana Pancasila lahir malah ternoda oleh perilaku kekerasan yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) kepada Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan(AKKBB) yang melakukan aksi damai di silang Monas. FPI mengklaim AKKBB melakukan tindakan penghinaan terhadap organisasinya. Secara khusus penyebab insiden ini yaitu FPI menuding AKKBB menginginkan kebebasan berkeyakinan bagi masyarakat Indonesia khususnya bagi Ahmadiyah, sebuah aliran baru dari agama Islam yang mempunyai ajaran tersendiri.FPI menuding AKKBB pro-Ahmadiyah yang   dianggapnya sesat dan menodai ajaran Islam.
Aksi tersebut mendapat kecaman dari berbagai element bangsa bahkan dari umat Islam sendiri. Masyarakat menuntut agar FPI segera dibubarkan.Di daerah-daerah bahkan dilakukan tindakan sweeping terhadap anggota FPI. Kalau kita cerdas berpikir maka tentunya kita akan bertanya-tanya tidakkah ada kebebasan dalam hidup beragama sampai sebuah keyakinan seperti Ahmadiyah harus dilarang? Tidakkah pemerintah malah melakukan pelanggaran HAM berat dengan melarang seseorang menganut keyakinan tertentu yang notabene merupakan hak asasi yang paling hakiki?
Mungkin masih segar dalam ingatan kita  semua akan aksi pro kontra terhadap pornoaksi dan pornografi beberapa tahun yang lalu. Inilah salah satu bentuk  intoleransi terhadap keyakinan orang lain. Suatu kelompok memaksakan pemahamannya terhadap pornoaksi dan pornografi dari sudut pandangnya sendiri tanpa melihat orang lain mempunyai pemahaman yang berbeda tentang hal tersebut. Pemerintah juga dituntut untuk segera mengesahkan RUU APP itu menjadi UU. Kalau itu terjadi tidakkah pemerintah membatasi warganya dalam berkeyakinan? Adanya pihak yang pro dan kontra tidak jarang menimbulkan aksi anarkis terhadap kelompok lainnya. Hal tersebut terkadang membuat kita bertanya-tanya kembali :mengapa agama malah menjadi sumber konflik?  Kalau demikian tidakkah sebaiknya Indonesia menjadi negara sekuler saja?
Pancasila sebagai idiologi bangsa sebenarnya sudah mengamanatkan hal ini. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidaklah berarti Indonesia tidak boleh menjadi negara sekuler. Sila  pertama Pancasila tersebut mengisyaratkan kepada kita agar menghormati keyakinan agama lain.. Tetapi dengan sistem pemerintahan sekarang ini, sangatlah sulit dalam membentuk toleransi antarwarga. Kendali pemerintahan ternyata tidak adil dimana orang-orang pemerintahan kebanyakan diisi oleh orang dari agama mayoritas. Hal ini berakibat kebijakan pemerintah menjadi berat sebelah. Kelompok minoritas kerap kali terpinggirkan sedangkan kelompok mayoritas semakin berani bertindak sewenang-wenang. Pemerintah juga menjadi tidak tegas dalam menindak aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok mayoritas.Contoh nyatanya dapat kita lihat dari perusakan Pura Sangkarehyang beberapa waktu lalu. Pemerintah terkesan lambat dan yang lebih memprihatinkan media juga seperti membisu melihat aksi ini.
Pembentukan negara sekuler juga mampu meningkatkan efisiensi pemerintah. Pemerintah tidak perlu lagi membentuk Departemen Agama. Bayangkan berapa rupiah yang dapat dihemat dari hal ini. Beberapa tahun yang lalu bahkan ada indikasi bahwa Departemen Agama  adalah departemen terkorup di negeri ini. Alangkah bagusnya dana keagaamaan yang besar seperti itu dapat dialokasikan kepada sektor pendidikan. Dana itu akan mampu membantu pembenahan pendidikan di negeri ini yang buruk. Melalui pendidikan ini juga dapat dilakukan pembenahan terhadap mentalitas generasi muda dengan menekankan pentingnya toleransi dalam kehidupan. Hal ini dapat dilakukan melalui pelajaran tertentu misalnya saja pendidikan Pancasila seperti yang sudah ada.
Kita dapat belajar dari India yang notabene merupakan negara sekuler. Di sana warganya bebas beribadat sesuai dengan keyakinannya. Tidak ada yang akan mempermasalahkan kalau seorang yogi disana melakukan ritual dengan telanjang. Dan kita lihat konflik di India tidaklah separah di negeri ini. Yang lebih penting lagi pendidikan mereka  berkembang dengan baik dimana outputnya diakui secara internasional.
Dengan benruk negara sekuler, maka pemerintah tidak akan saling lempar tangung jawab terhadap permasalahan keumatan. Dalam kasus  FPI saja pemerintah juga kebingungan dalam menentukan sikap terhadap FPI apakah yang berwenang Kementrian Hukum dan HAM atau dari Kementrian Dalam Negeri. Kepolisisan juga menjadi takut mengambil tindakan yang tegas. Dengan bentuk negara sekuler maka kepolisian  dapat bertindak lebih tegas karena masalah keamanan akan sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya.
Tentunya opsi ini adalah opsi terakhir yang harus dikaji kembali. Jika negara masih gagal dalam menjamin kebebasan rakyatnya dalam beribadat sesuai dengan ajaran agamanya dan tidak mampu membentuk  toleransi beragama antarwarganya maka opsi ini hendakya dapat dipikirkan untuk diterapkan. Hidup berbangsa yang multikultur dengan rukun tanpa adanya toleransi adalah hal yang mustahil. Ini hanya akan menyuburkan konflik antarwarga dan bahkan akan mengancam persatuan bangsa
Read More >>

Kesatuan Statement dalam Mengatasi Pelecehan Hindu




Hindu adalah agama yang fleksible dan toleran. Kesan tersebut dapat dilihat dari karakter umatnya di seluruh dunia.  Di berbagai belahan dunia, umat Hindu mampu hidup berdampingan dengan damai dengan umat lain. Sedangkan di daerah-derah konflik di tanah air seperti Ambon, Poso, dan sebagainya umat Hindu tidak hanya mampu hidup berdampingan tetapi juga mampu sebagai “kakak” dalam menengahi konflik “adik-adiknya”. Bali sebagai basis Hindu di Indonesia juga  terkenal sebagai daerah paling toleran di tanah air. Hal ini dapat dilihat dari maraknya kegiatan keagamaan dari umat lain berskala nasional sering dilaksanakan di Bali. Begitu pula halnya ketika umat  Hindu di Bali mengalami rongrongan dari para misionaris mereka tetap saja diam. Tentunya reaksi dari warga setempat akan berbeda apabila itu terjadi di tempat lain. Tapi apakah kita akan tetap diam saja seperti itu?
Kita tidak boleh diam terus menerus. Kita harus mampu meluruskan pandangan dan tafsir keliru tentang Hindu. Sebagai agama yang minoritas Hindu kerap kali dilecehkan terutama dengan hal yang bersinggungan dengan seni. Kita dapat lihat dari film Angling Dharma yang pernah membelokkan cerita Angling Dharma sehingga Hindu terkesan sebagai agama yang lebih rendah dari agama tertentu. Begitu pula halnya dengan karya seni berupa tato dan gambar yang mengambil symbol-simbol sakral Hindu yang tidak diletakkan pada tempat yang semestinya. Karya seni terakhir yang dirasakan melecehkan agama Hindu adalah film Drupadi yang diproduseri dan dibintangi langsung oleh Dian Sastro. Film ini dinilai merendahkan karakter Drupadi dalam Mahabharata. Film ini secara tidak langsung megagambarkan bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai salah satu dampak dari reformasi tampaknya sudah menjadi sangat kebablasan di negeri ini.
Harus disadari bahwa ini merupakan plus minus dari fleksibilitas Hindu. Di satu sisi fleksibilitas Hindu berdampak baik sehingga ajaran-ajarannya dapat disesuaikan dengan perkembangan jaman dan tempat dimana ajaran Hindu itu tumbuh dan berkembang. Hindu tidaklah bersifat kaku dimana apa yang terdapat dalam kitab suci harus mutlak diwujudkan seperti itu. Hindu fleksible, dimana dalam tatacara dapat disesuaikan dengan tempat, waktu, dan keadaaan. Fleksibilitas Hindu juga terletak pada adanya kebebasan dalam menafsirkan ajaran-ajaran Hindu sesuai dengan norma dan tidak menyimpang dari ajaran pokoknya. Kebebasan dalam menafsirkan kerap kali berdampak negatif dimana ajaran Hindu ajaran-ajaran Hindu disalahtafsirkan. Tafsir-tafsir yang dikemukakan bertentangan dengan maksud dari ajaran Hindu yang sebenarnya. Tentunya hal ini  akan merusak ajaran agama Hindu pada khususnya dan citra Hindu pada umumnya.
Kesalahan tafsir ini tidak hanya terjadi pada orang lain yang menilai Hindu tetapi juga dari intern Hindu. Salah tafsir dari ekstern Hindu tersebut itulah yang kemungkinan besar meyebabkan munculnya berbagai karya yang terkesan melecehkan Hindu. Kita hendaknya bersikap arif dengan tidak hanya menyalahkan pihak-pihak yang salah tafsir atas kejadian tersebut. Sebagian dari kesalahan tersebut juga terdapat dalam diri kita sebagai umat Hindu. Kita belum mampu mempelajari ajaran agama Hindu secara komprehensif sehingga mampu menjelaskan kepada orang lain bagaimana Hindu yang sesungguhnya. Bahkan dari intern Hindu saja masih terjadi perbedaan tafsir.
Hal inilah yang semestinya menjadi perhatian  kita bersama. Kita hendaknya tidak terburu-buru dalam menyatakan sikap terhadap permasalahan keumatan. Khusus pada kasus-kasus yang berunsur pelecehan terhadap Hindu, hendaknya kita melakukan koordinasi terlebih dahulu sehingga nantinya tidak ada statement ganda dari Hindu sendiri. Misalnya dalam kasus lagu Iwan Fals timbul dua statement. Satu pihak ada yang membenarkan dan pihak yang lain malah memprotes. Ini akan menjadi hal yang sangat lucu di masyarakat. Hindu hendaknya mempunyai kesatuan tafsir terhadap ajarannya. Hal ini juga penting sehingga tidak menimbulkan kebingungan umat. Parisada sebagai lembaga tertinggi Hindu hendaknya lebih tanggap dalam mengatasi permasalahan seperti ini.
Parisada harus mampu memberikan kontrol terhadap tafsir akan ajaran-ajaran Hindu. Itihasa dan Purana yang kerap kali mengalami salah tafsir hendaknya ditelaah kembali sehinga mampu dicapai kesatuan tafsir dengan berpedoman pada teks-teks sumber. Kesatuan tafsir tersebut kemudian hendaknya dipublikasikan kepada publik  sehingga umat tidak kebingungan lagi terhadap ajaran Hindu. Dalam perumusan tafsir akan ajaran-ajaran Hindu hendaknya ego pribadi dikesampingkan terlebih dahulu. Secara intern kita boleh saling bermusuhan, tetapi ketika kita berbicara tentang Hindu  kita adalah satu.
Read More >>

Sabtu, 17 Desember 2011

Kedamaian: Tolak Ukur Agama Masa Depan




Agama diyakini oleh setiap pemeluknya sebagai pesan Tuhan kepada umatnya. Pesan Tuhan yang terangkum dalam kitab suci itu kemudian dijadikan pedoman hidup bagi manusia. Pedoman hidup tersebut diyakini akan mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan baik duniawi maupun rohani.
Namun demikian ternyata dewasa ini banyak sekali umat yang tidak merasakan kebahagian hidup tersebut. Umat merasa hidupnya tidak damai. Kedamaian itu terusik akibat maraknya konflik, baik itu karena dilatarbelakangi oleh perbedaan suku, agama, dan ras; bencana alam; berkembangnya penyakit-penyakit baru yang mematikan; ataupun tingginya angka kriminalitas. Berbagai faktor tersebut menyebabkan umat selalu dibayangi rasa  ketakutan. Mereka takut sewaktu-waktu salah satunya akan mendera mereka.
Tolak ukur yang dapat menggambarkan ketidakdamaian manusia adalah tingginya angka bunuh diri di berbagai daerah. Berbagai alasan melatarbelakangi tindakan nekat orang akan hal ini. Beberapa orang bunuh diri karena terbelit utang, ada yang karena menderita penyakit yang tidak kunjung sembuh, putus pacaran, bahkan ada pula karena urusan sepele berupa tidak diberikan uang jajan oleh orang tuanya. Tolak ukur lain misalnya semakin banyaknya orang-orang yang stress dan depresi. Hal ini mencakup lingkup yang luas; dari berbagai usia, bangsa, dan agama. Tentunya hal tersebut membuat kita bertanya-tanya; sudahkah agama memberikan kedamaian kepada umatnya?
Ajaran agama hendaknya mampu menciptakan perasaan damai di hati para pemeluknya. Dalam ajaran Hindu, banyak sekali akan kita temukan literatur mengenai petunjuk hidup dalam menciptakan perasaan damai ini. Ajaran tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi sebagian orang saja, namun seluruh manusia dari berbagai jenjang pendidikan, umur, dan bangsa.  Hal itu membentang dari ajaran kitab Itihasa dan Purana bagi  mereka yang mempunyai tingkat pemahaman yang masih rendah sampai pada kitab Upanisad bagi yang tingkat pemahamannya lebih tinggi.
Secara umum ajaran dalam berbagai kitab suci tersebut mengajarkan bahwa cara untuk dapat menemukan kedamaian tersebut dengan mulai melangkah “ke dalam diri’. Apabila kita sudah melangkah “ke dalam”, kita tidak akan lagi dibingungkan oleh benda-benda duniawi yang menyebabkan keterikatan yang pada gilirannya akan menimbulkan perasaan tidak damai. Beberapa upaya yang dapat dilakukan misalnya dengan semakin mengintensifkan sembahyang, membaca kitab suci, mendegarkan lagu-lagu rohani, ataupun menonton dan membaca kisah-kisah Itihasa dan Purana.
Hal ini berbeda dengan beberapa agama lain dimana dalam kitab sucinya seringkali mengajarkan kebencian. Beberapa agama mengijinkan pemeluknya itu untuk memerangi orang-orang yang tidak sepaham dengan konsep agama mereka. Hal inilah pemicu utama beberapa perang dan konflik dewasa ini. Tentunya kita semua masih ingat dengan penjajahan berbagai bangsa di Asia dan Afrika beberapa abad yang lalu. Penjajahan oleh bangsa yang mengaku memiliki derajat yang lebih tinggi itu salah  satunya dilatarbelakangi oleh adanya upaya untuk menyebarkan ajaran agama. Memerangi orang kafir dan bidah bukanlah suatu dosa menurut pemahaman kitab suci mereka. Hal itu juga belum termasuk kekerasan yang menimpa agama-agama minoritas yang terjadi di negeri ini.
Solusi dari permasalahan tersebut adalah dengan membuka diri dan menghargai ajaran agama orang lain. Kita hendaknya disiplin dalam berpikir dengan tidak menggunakan pola pikir agama kita untuk memahami ajaran agama lain. Kita tidak akan dapat memahami kedalaman makna ajaran suatu agama apabila kita masih mengkajinya dengan pola pikir dari agama yang kita anut.  Hal ini dapat dianalogikan seperti seseorang yang ingin menebang pohon dengan menggunakan pisau dapur, sebuah kekeliruan yang bodoh dan fatal. Ketika kita sudah dapat berpikir seperti itu maka kita akan dapat menemukan kebenaran dalam agama tersebut. Dengan demikian kita tidak lagi akan memandang rendah orang yang berbeda agama dengan kita dan berusaha membujuk mereka untuk memeluk agama yang kita anut.
Sudah tidak jamannya lagi mengkonversi orang-orang untuk beragama sesuai dengan agama yang kita anut terlebih lagi bagi mereka yang sudah beragama. Sudah tidak jamannya pula kita berebut umat untuk meningkatkan kuantitas pemeluk agama yang kita anut. Kebesaran suatu agama tidak diukur dari seberapa banyak umat yang menganutnya. Tidak pula diukur dari seberapa banyak dan megah tempat pemujaannya.  Kebesaran suatu agama diukur dari seberapa besar sumbangsihnya dalam menciptakan kedamaian di muka bumi . “Semoga  terdapat ketenangan dan kedamaian untuk semua makhluk” (Atharwa Weda)
Read More >>

Jumat, 16 Desember 2011

Tirtayatra di Dalam Negeri Apa Salahnya?




            Perkembangan teknologi khususnya di bidang transportasi sangat membantu umat untuk melakukan perjalanan suci (tirtayatra). Dengan adanya kendaraan bermotor maka masalah jarak tidak menjadi halangan lagi dalam bertirtayatra . Tirtayatra ke pura-pura tidak lagi ditempuh dengan jalan kaki seperti dulu. Bahkan untuk sembahyang ke pura Kahyangan Tiga di desa pun sekarang ini dilakukan dengan memakai sepeda motor. Tempat tujuan tirtayatra pun meluas, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga ke tempat-tempat suci di luar negeri seperti India, Nepal, dan beberapa negara lain. Belakangan tirtayatra ke luar negeri ini malah lebih populer di kalangan umat daripada ke dalam negeri. Hal ini sesungguhnya merupakan kabar yang menggembirakan, tetapi tirtayatra semacam itu lebih terkesan pamer dan plesiran. Makna tirtayatra menjadi kabur ketika umat melakukannya dengan mengabaikan obyek-obyek tirtayatra di dalam negeri yang bahkan belum sempat dikunjungi.
            Sesungguhnya tirtayatra di dalam negeri tidak kalah berpahala. Banyak pura di dalam negeri juga mempunyai vibrasi yang luar biasa. Bahkan Shri Shri Ravi Sankar sangat gemar berkunjung ke Bali karena energi kosmis Bali yang kuat. Demikian pula dengan Acarya Shri Kishore Goswami, penemu Meditasi Angka yang berhasil menemukan teknik meditasi ini di Bali. Selain itu masih banyak lagi para Maharsi jaman dulu yang gemar melakukan tirtayatra di nusantara dan kemudian membangun tempat-tempat suci. Beliau seolah berpesan bahwa tirtayatra di dalam negeri amat penting.
            Membangun kecintaan umat untuk bertirtayatra ke pura-pura di dalam negeri sangatlah penting. Tirtayatra tidak hanya sekedar bertandang ke tempat suci dan sembahyang, tetapi lebih dari itu tirtayatra dapat membuktikan eksistensi Hindu di nusantara. Melalui tirtayatra, umat lain dapat melihat bahwa Hindu masih tetap eksis. Dengan bertirtayatra ke pura-pura di Jawa misalnya, umat lain akan tahu bahwa Hindu masih ada, tidak hanya di Bali. Secara politik hal ini diharapkan mampu menggugah kebijakan-kebijakan pemerintah untuk lebih memperhatikan Hindu. Selama ini Hindu di luar Bali kerap kali terabaikan karena dianggap “tidak ada”. Sebagai contoh dapat diambil kekurangan tenaga guru agama di daerah sehingga banyak siswa Hindu tidak mendapat pelajaran agama di sekolahnya. Diharapkan perhatian pemerintah akan lebih besar kepada umat Hindu seiring dengan makin bersemangatnya umat dalam bertirtayatra di dalam negeri sebagai bukti keberadaan Hindu di nusantara.Dengan tirtayatra pula rasa persatuan antarumat Hindu dapat dipererat sehingga sangat membantu perkembangan Hindu di nusantara.
            Aspek ekonomi juga hendaknya jangan diabaikan. Tirtayatra secara tidak langsung juga berperan penting dalam membangun perekonomian warga. Perjalanan suci ke tempat-tempat suci memerlukan sarana pendukung seperti travel agent, sarana upakara, penginapan, warung makan, dan sarana pendukung lainnya yang akan berpengaruh terhadap jehidupan warga sekitar dari aspek ekonomi. Celah ini hendaknya dapat dibaca oleh umat Hindu untuk berkecimpung di dalamnya. Selama ini umat Hindu kurang jeli mengambil peluang bisnis dari tirtayatra sehingga hasilnya kebanyakan dinikmati oleh umat lain. Jasa-jasa penginapan dan warung makan di areal pura juga bertebaran di sekitar pura namun sebagian besar dikuasai oleh umat lain. Tentunya akan lebih baik apabila kita yang mengambil alih peluang bisnis ini.  Dengan demikian perekonomian umat Hindu yang selama ini terbelakang akan dapat diperbaiki dengan kegiatan tirtayatra ini.
            Secara spiritual tirtayatra merupakan upaya untuk meningkatkan kesucian diri secara spiritual. Berkunjung dan bersembahyang di tempat-tempat suci yang mempunyai vibrasi spiritual yang tinggi akan mampu meningkatkan kualitas kesucian diri secara bertahap. seperti halnya sebatang besi yang pelan-pelan menjadi magnet karena seringkali dekat, demikian pula jiwa akan semakin tersucikan ketika kita rajin melakukan tirtayatra dengan tulus. Etika berkunjung ke tempat suci  dimana umat diharapkan untuk menjaga kesucian pikiran, perkataan, dan perilaku hendaknya dapat diemplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian maka  berprilaku suci akan menjadi suatu kebiasaan. Inilah sesungguhnya tolak ukur keberhasilan dalam bertirtayatra.
            Kecintaan umat untuk melaksanakan tirtayatra dalam rangka membangun Hindu Nusantara hendaknya perlu diupayakan. Alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan  penataan pura dengan baik. Areal pemukiman dab ekonomi perlu ditempatkan pada tempat yang semestinya sehingga  tidak mengganggu umat bersembahyang. Pura-pura kita juga cenderung kumuh. Banyak sampah sisa sesajen berserakan di areal pura. Anjing dan hewan juga dengan mudahnya berkeliaran di areal pura. Bahkan di beberapa pura ada umat (anak-anak) yang berebut sesari yang sangat menganggu umat dalam sembahyang. Hal tersebut hendaknya segera dibenahi dalam upaya untuk menumbuhkan kecintaan umat dalam bertirtayatra di dalam negeri.
Read More >>

Adat Justru Menghancurkan Hindu




Populasi Hindu di Bali semakin menipis. Banyak umat Hindu yang sekarang ini beralih agama. Ada yang berpendapat bahwa hal tersebut disebabkan oleh peran Desa Pakraman yang semakin kehilangan taring. Desa Pakraman tidak mampu menjadi tameng bagi masuknya ajaran agama baru yang masuk ke suatu wilayah. Belakangan malah disimpulkan bahwa Hindu tidak akan mampu bertahan apabila tidak ada Desa Pakraman.
            Pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar. Memang benar bahwa organisasi yang kuat seperti Desa Pakraman dibutuhkan bagi perkembangan agama Hindu. Melalui Desa Pakraman umat dapat dibina dan ditumbuhkan kecintaannya akan agama Hindu. Namun sayang dalam prakteknya desa pakraman jusru berkutat dalam “melestarikan adat yang kaku”, tidak jarang pada hal-hal yang  sudah tidak relevan lagi dengan perubahan jaman sekarang ini. Desa Pakraman yang tetap kaku dengan adatnya malah menjadikan umat empati terhadap Desa Pakraman. Kita dapat lihat fenomena tersebut di beberapa daerah. Di daerah masih saja ada permasalahan kasta, kasepekang, rebutan setra, dan tapal batas.
            Tidak bisa dipungkiri bahwa banyaknya umat kita yang berpindah agama karena masalah kasta. Adat yang pro  system kasta di tengah kemajuan jaman sangat rentan mendapat perlawanan dari mereka yang dianggap lebih rendah. Adalah hal yang manusiawi bahwa manusia ingin dianggap lebih tinggi dari orang lain mengingat hakekat manusia yang bersifat Satyam (kebenaran), Siwam (kebajikan), dan Sundaram (keindahan). Karena hakekat tersebut maka manusia akan merasa bersalah apabila melakukan perbuatan yang melanggar nilai-nilai kebenaran dan kebajikan. Manusia juga akan merasa dilecehkan apabila ia dianggap tidak indah/rendah karena hakekat Sundaram dalam dirinya. Inilah bentuk kekeliruan dari adat dalam menerjemahkan konsep agama. Ajaran Catur Warna yang demikian bijaksana dianggap sebagai justifikasi untuk melakukan stratifikasi social secara sempit seperti yang ada dalam kasta. Ajaran Hindu yang sangat menghargai persamaan harkat dan martabat makhluk hidup terlihat tidak adil. Jika system kasta ini tetap dipertahankan dengan kaku maka jumlah umat akan terus-menerus berkurang mengingat jumlah penduduk yang digolongkan ke kasta rendah jauh lebih dominan.
            Demikian pula halnya dengan masalah kasepekang, rebutan setra dan tapal batas yang marak beberapa waktu belakangan ini yang sangat tidak manusiawi. Masalah-masalah tersebut malah menjadikan umat Hindu menjadi sangat ngeri terhadap Desa Pakramannya sendiri. Umat Hindu di Bali seolah beragama lebih karena ketakutannya terhadap adat, bukan karena Sraddha dan Bhaktinya terhadap Tuhan. Bisa saja orang yang  bersembahyang tersebut karena mereka takut terkena sangsi adat seperti kasepekang. Adat seperti ini akan menghambat orang-orang Hindu untuk maju. Bayangkan bagaimana mungkin seorang Hindu akan mempu menjadi General Manager di suatu perusahaan apabila dia juga harus rutin mengikuti sangkep-sangkep kecil di banjar yang kadang digunakan untuk minum-minum?
            Adat juga kerap menyebabkan orang menjadi berat menjadi seorang Hindu. Adat yang kaku umumnya mengharuskan orang untuk melakukan upacara-upacara yang besar. Dalam upacara Ngaben misalnya, seseorang harus mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk itu agar sesuai dengan adat setempat. Ajaran Hindu yang menyediakan berbagai pilihan dalam beryadnya seolah tak berdaya ketika sudah berhadapan dengan adat. Untuk itu tidaklah salah apabila sekarang ini banyak bermunculan crematorium sebagai salah satu solusi permasalahan adat khususnya bagi mereka yang kasepekang dan tidak mampu.
            Berbagai permasalahan adat tersebut hendaknya kita renungkan kembali untuk dicarikan solusi yang paling tepat. Melihat begitu kompleksnya permasalahan adat sekarang ini maka tentunya membuat orang Hindu berpikir kembali untuk tetap menganut Hindu. Tanpa dikonversipun banyak oang Hindu yang sudah beralih agama. Apa jadinya Hindu jika permasalahan seperti ini tetap dibiarkan terus menerus?
Untuk itu adat hendaknya mampu untuk berbenah diri. Adat hendaknya disesuaikan dengan perkembangan jaman dan nilai-nilai agama Hindu. Desa Pakraman hendaknya mampu menjadi Hindu Center di masing-masing desa seperti halnya program Pemprov Bali beberapa waktu lalu. Program tersebut hendaknya lebih diarahkan pada pembelajaran ketrampilan hidup untuk memperkuat daya saing umat Hindu dalam persaingan global berdasarkan ajaran Hindu, bukan sebaliknya dengan bermimpi kembali ke masa lalu dengan adat yang kental. Untuk mengontrol adat dapat pula ditempuh dengan menempatkan guru-guru agama Hindu dalam kepengurusan Desa Pakraman. Di desa kami yang adatnya masih kental hal ini sangat membantu. Parisada sebagai lembaga tertinggi umat juga hendaknya berperan aktif untuk menelaah dan mengkritisi adat-adat yang keliru. Lebih lanjut Parisada hendaknya aktif dalam memberikan pencerahan rohani sehingga ajaran adat dapat disesuaikan dengan ajaran Hindu.


Read More >>

Rabu, 14 Desember 2011

Kepongor: Metode Pendidikan Agama yang Efektif

 
samo ‘ham sarwa bhutesu
na me dvesyo ‘sti na priyah
ye bhajanti tu mam bhaktya
mayi te tesu capy aham

Aku adalah sama bagi semua makluk,
bagi-Ku tiada yang terbenci dan terkasihi,
tetapi mereka yang berbhakti kepadaku dengan penuh pengabdian,
mereka ada pada-Ku dan Aku ada pada mereka
(Bhagawadgita IX-29)

Tak bisa  kita pungkiri bahwa kehidupan beragama Hindu khususnya di Bali banyak dipengaruhi oleh mitos-mitos gaib. Mitos tersebut misalnya kepongor yakni sebuah kepercayaan yang menganggap dewa-dewa atau roh-roh leluhur melakukan penghukuman terhadap manusia atas tindakan-tindakan yang dianggap menyalahi hukum-hukum alam esoteris. Contoh yang dapat diambil yakni maraknya umat yang terpaksa melaksanakan upacara berskala besar walau sebenarnya secara konomi mereka tidak mampu. Justifikasi  dari para Balian Sonteng akan pesan dari para dewa atau leluhur mengenai ukuran upacara tidak berani mereka bantah, mereka takut kepongor.. Pilihan ukuran melaksanakan yadnya seolah terabaikan. Keiklasan yang dalam sastra dikatakan lebih utama menjadi tidak berarti. Akibatnya umat Hindu dalam  melaksanakan ritual banyak yang dilandasi ketakutan bukan keikalsan. Umat melaksanakan upacara hanya karena takut kepongor atau kemarahan Tuhan. Tattwa agama tampak dikalahkan oleh ketakutan umat akan mitos gaib.
            Namun demikian fenomena ini justru dapat  dimanfaatkan untuk menanamkan sraddha dan moralitas kepada umat terutama bagi generasi muda. Maraknya tindak kejahatan dan rendahnya moralitas generasi muda dapat diperbaiki dengan mengintegrasikan mitos gaib ini dalam pendidikan agama Hindu. Dengan adanya kepercayaan ini para generasi muda akan tunduk dan patuh terhadap ajaran agama. Kepongor ini akan menuntun generasi muda untuk senantiasa rajin sembahyang. Demikian pula dengan rasa hormat mereka kepada leluhur dapat dibentuk. Sifat itu kemudian dapat mereka wujudnyatakan dengan menhormati orang tua mereka di rumah maupun orang yang dituakan serta masyarakat pada umumnya. Dengan demikian implikasi dari kepercayaan kepongor ini akan berdampak langsung dalam membentuk karakter generasi muda yang berbhakti dan santun. 
            Hal tersebut kami rasakan  sendiri. Ketika kecil kami diajarkan untuk senantiasa rajin sembahyang. Keluar rumah baik itu ke sekolah ataupun jalan-jalan kami diajarkan untuk sembahyang terlebih dahulu. Kami juga diajarkan untuk senantiasa hormat kepada orang yang lebih tua. Jika itu dilanggar maka dikatakan bahwa kami akan kepongor. Pun ketika kami aktif sebagai anggota Pramuka. Ketika saat pelantikan kami mengucapkan Tri Satya yang syarat dengan janji-janji moral di sebuah pura yang konon keramat. Pendidikan masa kecil dan janji di pura itu menjadikan kami takut untuk berbuat yang tidak baik karena kami takut kepongor. Setelah mempelajari filsafat kami baru menyadari kesalahan dari alur berpikir tersebut. Tapi kami justru bersyukur karena berkat ajaran tersebut kami senantiasa tertuntun untuk selalu berbuat baik. Ini membuktikan bahwa mitos kepongor sangat efektif sebagai metode pembelajaran agama Hindu.
            Sesungguhnya kepercayaan akan kepongor ini juga terdapat dalam Itihasa dan Purana. Cerita akan kehancuran para raksasa akibat keangkuhan dan keangkaramurkaannya juga merupakan bentuk kepongornya kepada para dewa. Hiranyakasipu, Rawana, Sisupaladan Duryodana merupakan tokoh-tokoh yang terkenal kepongor dalam Purana dan Itihasa. Itihasa dan Purana seolah berpesan agar kita semua menjadi orang baik dan tidak sekali-kali berani melawan dewa atau leluhur. Cukup dipercaya dan lakukan dan hasilnya akan kita dapatkan pada akhirnya.
Mitos kepongor ini hendaknya juga diimbangi dengan cerita orang-orang sukses akibat pengabdian dan rasa hormatnya kepada para dewa dan leluhur. Dengan demikian generasi muda akan termotivasi untuk senantiasa berbuat baik dan takut berbuat jahat.  Dalam hal ini seorang guru atau orang tua di rumah dapat menanamkan cerita-cerita keteladanan dari Prahlada, Rama, Pandawa, dan sebagainya  yang kehidupannya berujung pada kesuksesan. Di rumah seorang orangtua hendaknya menyisihkan waktu untuk menceritakan cerita-cerita Purana dan Itihasa tersebut kepada anaknya. Tradisi mendongeng sebelum tidur yang semakin ditinggalkan akibat kemajuan teknologi hendaknya dibangkitkan kembali. Tidak bisa dipungkiri bahwa selain mendatangkan manfaat yang besar, teknologi juga berpengaruh buruk terhadap karakter anak.  Maraknya game-game serta tontonan di televisi yang berbau kekerasan dan tindakan asusila sangat mempengaruhi karakter anak ke arah yang buruk.
Namun demikian hendaknya ketika mereka sudah beranjak dewasa diajarkan kebenaran filsafat dan tattwa sehingga mampu mengkritisi kebenaran dari mitos kepongor tersebut. Melalui pendalaman filsafat mereka akan memahami bahwa para dewa dan leluhur sesungguhnya sangat pemurah dan pemaaf. Dengan demikian mereka pada nantinya juga akan mengetahui maksud sesungguhnya dari kepercayaan kepongor tersebut yang sesungguhnya ingin menanamkan sraddha dan moralitas. Pembinaan-pembinaan kepada umat secara keseluruhan juga sangat diperlukan sehingga sraddha dan bhakti umat dapat ditingkatkan dan tidak dikalahkan oleh mitos-mitos yang tidak jelas dasar sastranya.
Read More >>

Angka dalam Perspektif Lintas Budaya




Angka diyakini oleh masing-masing individu mempunyai makna tersendiri. Terkadang pula persepsi orang tentang angka tidak sama. Beberapa orang mungkin akan mengira angka 4 adalah angka yang sangat bagus tetapi bagi orang lain mungkin angka itu dinilai membawa sial. Tidak dapat dipungkiri bahwa di masyarakat masih berkembang mitos akan adanya angka sial ataupun angka setan.
            Angka 4 dan angka 9 menurut budaya Timur khususnya Jepang dan Cina merupakan angka sial. Hal ini didasarkan atas kesamaaan bunyi dari angka tersebut yang berkonotasi negatif. Dalam bahasa Jepang angka 4 berbunyi shi yang juga berarti kematian. Sedangkan angka 9 berbunyi ku yang dapat berarti penderitaan. Di samping itu ada pula mitos bahwa angka paling sial adalah angka 13. Kepercayaan ini kemungkinan diambil dari cerita wafatnya Yesus oleh muridnya Yudas yang berkhianat pada pertemuan yang selenggarakan dan dihadiri oleh 13 orang. Kepercayaan ini diperburuk oleh adanya film-film yang berusaha memperburuk citra angka 13 sebagai angka sial, keramat, dan pembawa bencana. Film itu misalnya saja film Lantai 13 yang menceritakan adanya hantu di sebuah gedung yang berlantai 13. Apabila dicermati ada kesamaan antara angka 13 dengan angka 4. Angka 4 merupakan hasil penjumlahan dari kedua unsur penyusun angka 13 (1+3). Angka 666 bahkan dianggap sebagai angka setan.
            Ada banyak bukti bahwa itu hanya mitos keliru. Angka-angka tersebut malah sangat bertuah. Amerika Serikat yang notabene merupakan negara adidaya mempergunakan motif-motif bernuansa  13 dalam lambang negaranya, The Seal of United States of America. Dalam lambang tersebut terdapat 13 bintang di atas kepala Elang membentuk Bintang David,13 garis di perisai atau tameng burung,13 daun zaitun di kaki kanan burung,13 butir zaitun yang tersembul di sela-sela daun zaitun,13 anak panah.13 bulu di ujung anak panah.13 huruf yang membentuk kalimat ‘Annuit Coeptis’13 huruf yang membentuk kalimat ‘E Pluribus Unum’,13 lapisan batu yang membentuk piramida.13 X 9 titik yang mengitari Bintang David di atas kepala Elang. Tapi dapatkah USA dikatakan sial? Harus diakui bahwa USA dengan apa yang dimilikinya sekarang ini merupakan negara yang beruntung. Selain USA, masih ada banyak perusahaan yang menggunakan lambang atau logo yang bernuansa 13 dan mereka tidak mengalami kesialan namun justru mendapat berkah.
            Angka 9 pun tidak terbukti membawa kesialan. Masih segar dalam ingatan kita bahwa sebelum pengambilan nomor urut partai politik menjelang Pemilu 2009 banyak orang berharap untuk mendapatkan nomor urut 9. Hal ini didasarkan atas prestasi partai Demokrat pada Pemilu 2004 yang begitu gemilang yang pada waktu itu mendapat nomor urut 9. Sebagai partai debutan partai Demokrat berhasil meraih posisi ke 5 dan menggolkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden RI ke 6. Prestasi ini kemudian diikuti oleh Partai Amanat Nasional yang pada 2004 lalu hanya menempati urutan 7 sedangkan dalam Pemilu 2009 mampu di urutan ke 5. Hasil Pemilu 2009 juga menumbangkan mitos angka 4 dan gabungan angka yang membentuk angka itu sebagai angka sial. Demokrat yang bernomor urut 31 yang dikhawatirkan akan terpuruk malah tercatat sebagai pemenang Pemilu 2009 dengan selisih yang lumayan jauh. Dapat disimpulkan bahwa angka 4, 9, ataupun 13 malah membawa berkah bagi yang memakainya.
            Di samping adanya keyakinan akan angka sial dalam berbagai budaya juga kita dapat menemukan kepercayaan akan adanya angka bertuah yang membawa keberuntungan. Angka 8 diyakini sebagai angka keberuntungan. Banyak orang berlomba-lomba mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk mendapatkan nomor handphone yang cantik yang bernuansa 8. Tidak hanya  untuk nomor handphone, nomor 8 juga diburu sebagai nomor rumah, kantor, plat motor, dan sebagainya. Bahkan sebagian orang meyakini bahwa kemerdekaan negeri ini dari kaum penjajah pada tanggal 17 Agustus merupakan (17-08) merupakan tuah dari angka 8.
            Angka 1 dan sembilan diyakini sebagai angka yang mewakili kualitas. Dalam penilaian siswa di kelas semua siswa berusaha untuk mendapat ranking 1. Angka 1 juga menunjukkan jabatan di suatu wilayah atau instansi, misalnya RI1, Bali1, Karangasem1, dan sebagainya. Demikian pula dengan angka sembilan yang juga menunjukkan kualtas kesempurnaan. Dalam ujian angka 9 dan lebih merupakan angka tertinggi yang ingin diperoleh oleh siswa. Di Bali angka 9 mengandung makna yang istimewa dan keramat. Oleh karena itu maka muncul konsepsi-konsepsi bernuansa 9 seperti: Dewata Nawa Sangga (Sembilan Dewa penjaga arah mata angin), Tawur Kesanga (tawur khusus menjelang Hari Raya Nyepi), dan sebagainya. Di India pun demikian. Banyak konsep-konsep utama yang bernuansa sembilan misalnya saja : Nawa Darsana (sembilan aliran utama filsafat), jumlah japa yang kelipatan  9, Nawaratri, dan sebagainya.
            Angka 2 merupakan angka pembeda. Biasanya dikaitkan dengan suatu proses pemilihan sesuatu hal. Dalam konsep budaya Bali angka 2 dikaitkan dengan konsep Rwa Bhineda (2 hal yang berbeda) seperti lahir-mati, kaya-miskin, menang-kalah, dan sejenisnya. Perbedaan tersebut bukanlah sesuatu yang harus diperdebatkan namun harus dihormati sehingga terjadi keseimbangan dalam kehidupan
            Angka 3 memiliki arti khusus dalam budaya Bali. Konsep-konsep angka 3 sangat banyak dalam kehidupan budaya Bali. Misalnya saja Tri Murti, Tri Mandala, Tri Sandhya, dan sebagainya. Dalam agama Kristenpun ada konsep Trinitas yang sejenis. Bahkan dalam pemilihan gubernur Bali tahun 2008 yang lalu angka 3 diyakini sebagai angka keberuntungan yang mengantarkan kandidatnya sebagai Bali1.
            Angka 5 dalam kehidupan berbangsa khususnya pada masa Orde Baru memiliki makna mendalam. Konsep-konsep yang mengandung angka 5 banyak dipertahankan dan dilestarikan. Di masa Orde Baru pendidikan Pancasila bahkan dijadikan mata pelajaran khusus. Di samping itu keyakinan 5 agama masih dipertahankan.
            Demikian pula dengan angka 6 dan 7 yang juga memiiki arti penting dalam budaya-budaya nusantara. Pada akhirnya semua itu kembali pada diri kita kembali . Hanya kita yang tahu bahwa angka merupakan sesuatu hal yang sangat unik dan bertuah. Kita sendiri yang dapat membantah mitos-mitos keliru tentang angka. Mari menjaga angka masing-masing sehingga mampu mengangkat derajat spiritual kita.
Read More >>

Indahnya Memberi




Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat lepas dari kehidupan masyarakat di sekitarnya. Manusia dituntut untuk dapat berinteraksi dengan makhluk lainnya. Dalam pergaulan sehari-hari tersebut seorang Pemeditasi Angka diharapkan dapat menjadi teladan bagi warga sekitarnya.
Salah satu keteladanan yang dapat kita ajarkan adalah teladan dalam memberi. Sebagian orang mungkin mengira bahwa menerima lebih baik dari memberi. Ketika mendapat hadiah seorang akan sangat senang, tetapi ketika semestinya memberikan sesuatu kita  akan enggan untuk melakukannya. Contoh kecil yang dapat diamati yakni ketika seseorang ulang tahun. Dengan ceria orang akan menyambut hari itu berharap akan datangnya kado. Tetapi hal sebaliknya akan terjadi ketika temannya ulang tahun. Mereka akan merasa tertekan untuk memberi temannya hadiah, walaupun sebetulnya dia tiak menginginkan sama sekali.
Percayalah bahwa memberi lebih menyenangkan daripada menerima. Pemberian yang tulus kepada orang yang benar-benar memerlukan sangat menyenangkan. Pemberian tidak mesti berupa materi. Menjadi pemberi tidak semestinya menunggu kita kaya terlebih dahulu. Pemberian dapat berupa bentuk-bentuk yang lain dengan ”harta” sederhana. Memberi senyum, menyampaikan salam, mengucapkan terimakasih juga merupakan pemberian. Sekilas mungkin akan terasa simple tetapi ini sesungguhnya sangat berarti. Ucapan-ucapan sederhana seperti itu akan membuat orang merasa dihargai. Sudah menjadi sifat alamiah manusia akan senang apabila merasa dihargai. Mereka juga akan merasa senang karena merasa diperhaikan.. Bayangkan berapa jiwa orang yang kita bisa senangkan dengan hal kecil macam ini. Betapa indahnya dunia ketika penghuni-penghuninya merasa disenangkan tiap harinya. Vibrasi kedamaian ini diharapkan mampu mereduksi ketidakdamaian dalam hidup akibat peperangan, terorisme, tingginya kriminalitas, dan sebagainya.
Mereka yang senang tentu akan membalas hal serupa. Bayangkan apabila tiap menit orang-orang akan melakukan hal serupa pada kita. Hidup kita akan penuh dengan kebahagiaan. Dengan pemberian kecil ternyata hidup kita menjadi lebih hidup.
Kita hendaknya mampu memberikan contoh kepada sesama untuk senantiasa menjadi pemberi. Mulailah dari keluarga di rumah.  Teman sekolah atau kantor dan akhirnya pada masyarakat umum.  Jelaskan pula indahnya memberi seperti itu kepada orang di sekitar kita.
Pemberian ini kemudian dapat kita tingkatkan kepada hal-hal lain. Mulai sekarang marilah kita aktif sebagai anggota pendonor darah, menjadi orang tua asuh, dan sejenisnya. Janganlah takut dengan menjadi pendonor kita akan menjadi sakit-sakitan, ataupun miskin ketika menjadi orang tua asuh. Tuhan Yang Maha Pengasih tentu akan melindungi kita. Kesehatan dan kekayaan kita akan dijaga. Ketika Tuhan sudah menjaminnya, apa yang perlu kita ragukan lagi? Mari kita praktekkan dan lihat apa yang akan terjadi.

Read More >>

Prasadam Adalah Anugrah Bukan Sampah




yajna-sistamrta-bhujo
yanti brahma sanatanam
nayam loko sty ayajnasya
kuto nah kuru-sattama

Mereka yang makan sisa persembahan,
Sebagai amrta, mencapai Brahman yang kekal abadi,
Dunia ini bukan bagi yang tidak beryadnya
Apa pula dunia yang lain, wahai Arjuna
(Bhagawadgita IV-31)

Masalah lingkungan merupakan isu yang sedang mengemuka  saat ini. Lingkungan yang rusak merupakan salah satu penyebab utama bencana alam di dunia. Semakin bertambahnya polutan yang tidak disertai dengan upaya pencegahan yang maksimal menyebabkan alam sangat cepat rusak. Bahkan yang paling dikhawatirkan kerusakan memuncak dengan  berubahnya iklim di seluruh belahan dunia.
Sumber polutan ternyata tidak hanya dati kalangan industri, namun juga dari rumah tangga. Aktivitas yadnya pun ikut memberi andil rusaknya lingkungan. Sisa-sisa upakara baik itu dalam skala rumah tangga ataupun dalam skala besar seperti Panca Bali Krama dibuang seenaknya seperti sampah. Tidakkah ’sampah’ tersebut sesungguhnya adalah prasadam atau surudan?
Ini sesungguhnya merupakan bentuk tidak hormat kita pada Tuhan yang kita beri persembahan. Kita memuji-muji Beliau dan mempersembahkan sesajen. Tetapi setelah sesajen itu menjadi prasadam kita malah membuangnya. Ini tentu keliru. Prasadam hendaknya dinikmati sampai habis oleh semua makhluk, baik itu manusia mupun hewan dan tumbuhan. Jangan perlakukan prasadam sebagai sampah yang harus dibuang yang pada gilirannya malah mengotori lingkungan.
Dalam hal ini kita patut mencontoh sikap teman saya. Sebelum makan dia selalu berdoa : Om brahmar panam brahma havir brahmagnau  brahmanahutam, brahma iva tena gantavyam brahma-karma-samadhina. Aham vaisvanaro bhutva praninam deham asritah, pranapana samayuktah pacamy annam catur-idham (Bhagavadgita IV-24 dan XV-14). Arti dari mantra tersebut yakni Brahman adalah persembahan itu, Brahman adalah mentega, yang dipersembahkan pada api Brahman, hanya kepada Brahmanlah ia yang mengetahui Brahman menghadap dalam kegiatan kerjanya (BG IV-24), setelah menjadi api dari badan makhluk hidup dan bersatu dengan keluar masuknya pernafasan, Aku cernakan empat jenis makanan itu (BG XV-14). Melalui mantra tersebut dia meyakini bahwa Tuhan adalah sumber dari semuanya termasuk makanan yang akan dia makan. Dia meyakini bahwa makanan itu adalah anugrah dari Tuhan. Karena itulah ketika dia makan dia tidak akan menyisakan walaupun itu hanya sebutir nasi. Baginya tidaklah benar menyianyiakan anugrah apalagi sampai membuangnya.
Dalam sistem filsafat Vira Saiva, diuraikan mengenai keutamaan dari prasadam. Jiwa orang yang mendapat prasadam akan tercerahkan. Perlahan orang yang sering menikmati prasadam akan mengetahui bahwa dia sesungguhnya adalah jiwa, bukan badan. Jiwa kemudian akan melakukan penyerahan diri secara total kepada Tuhan (bhakti). Dan dari bhakti tersebut jiwa akan mencapai kesatuan yang utuh dengan Tuhan. Pada tahap ini tidak akan ada lagi perbedaan antara jiwa dan Siwa (Aikyastala).
Untuk mencegah banyaknya limbah yang dihasilkan dari sisa upacara maka penyederhanaan sesajen sangat diperlukan. Dengan sederhananya banten maka sisa upakara yang dihasilkan menjadi lebih sedikit. Selain itu banten yang sederhana umumnya dibuat dalam waktu yang lebih sedikit sehingga lebih awet dibandingkan banten yang banyak. Dengan demikian sisa upakaranya masih dapat dinikmati.
Kita dapat mencontoh Meditasi Angka dalam hal ini. Di Meditasi Angka  banten yang dipergunakan sebagai sarana upakara adalah banten yang relatif sederhana tanpa mengurangi maknanya. Prasadamnya pun selalu habis dinikmati oleh para peserta meditasi dan tamu yang datang. Ini disebabkan mereka meyakini bahwa prasadam itu merupakan anugrah dari Dhunaguru (Tuhan Yang Maha Esa) yang penuh berkah. Demikian pula dengan abu hasil pembakaran di Akhanda Dhuna (sejenis khunda) yang dimanfaatkan dengan maksimal sebagai vibhuti. Vibhuti ini tidak pernah dibuang. Apabila  khunda penuh maka abunya diangkat dan disimpan. Beberapa orang mempergunakan untuk terapi untuk suatu penyakit, ada yang mempergunakannya sebagai penetralizir sifat-sifat negatif di lingkungannya, dan beberapa manfaat lainnya. Demikian pula dengan sisa upakara baik iu yang berupa canang atau sesajen lainnya. Sisa persembahan itu dipilah antara yang organik dan yang anorganik untuk kemudian diproses lebih lanjut sehingga ramah  lingkungan. Dengan begitu baik mikroorganisme maupun tumbuhan dapat ikut serta menikmati prasadam tersebut.
Demikian beberapa pemikiran dalam pengolahan sisa upakara yang perlu kita perhatikan. Pemikiran-pemikiran tersebut hendaknya kita dapat amalkan, sehingga konsep Tri Hita Karana yang kita pedomani tidak hanya sebatas wacana.
Read More >>

Senin, 12 Desember 2011

Berhati-hatilah dalam Mengucapkan Sumpah dan Kutukan


   

Tulya ninda stutir mauni samtusto yena kenacit
Aniketah sthira matir bhaktiman me priyo narah
(Bhagawadgita XII – 19)


Dia yang bisa bersikap sama terhadap hujatan maupun pujian; yang adalah diam (terkendali di dalam bicaranya), puas dengan apa saja (yang datang), yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap dan teguh di dalam pikiran, dia yang dengan demikian penuh bhakti, dia adalah yang Aku cintai.



Perkembangan zaman yang semakin modern membuat nilai-nilai agama yang selama ini diyakini kebenaran dan kesuciannya semakin memudar. Banyak tatanan moral agama yang dilanggar hanya demi kepuasan duniawi. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam namun juga oleh para ahli agama. Ahli agama yang selama ini diyakini petuah dan moralnya malah memanfaatkan ajaran agama untuk kepentingan pribadinya. Ayat-ayat suci kitab suci diputarbalikkan maknanya hanya untuk membenarkan perilaku kelirunya.
Demikian  halnya dengan sumpah yang saat ini dimaknai keliru. Sumpah yang dulu dianggap sacral, sekarang ini dianggap angin lalu saja. Sumpah sudah bersifat profan yang menjadi bagian penting ketika berbohong. Dalam perkara pengadilan tidak jarang orang yang bersumpah atas nama Tuhannya dan dengan tenang berani berkata bohong. Kejujuran dan kesetiaan akan kata-kata mungkin sudah demikian memudar. Hal ini memang tidak terlepas dari jarangnya kekeliruan akan sumpah yang diucapkan yang tidak langsung memberikan efek “sengsara” bagi mereka yang melanggarnya. Disamping itu, menipisnya keyakinan akan hukum karma menyebabkan orang dengan berani berbuat sesuka hati demi keuntungan pribadi.
Berbeda halnya dengan sumpah yang dilakukan oleh para tokoh dalam berbagai cerita Itihasa dan Purana. Sumpah dimaknai dengan sangat sacral. Bahkan mereka menganggap kebenaran tertinggi ada pada sumpah yang mereka ucapkan. Lihat saja Bisma, Panglima Kaurawa ketika Bharata Yuda yang bersumpah untuk hidup membujang (tidak menikah) sepanjang hidupnya. Demi sumpahnya ia rela untuk melawan perintah ibu dan gurunya sendiri. Padahal dalam Taitriya Upanisad dikatakan bahwa Mrtu dewa bhawa, Acarya dewa bhawa (ibu dan guru merupakan perwujudan Tuhan di dunia yang mesti di hormati dan dipatuhi perintahnya). Tidak hanya sampai di sana sumpah kesetiaanya pada Hastina Pura, kerajaannya juga membuatnya berani melawan Pandawa yang berada di pihak dharma. Sungguh demikian besar kesetiaan Bisma terhadap sumpahnya sehingga ia layak menyandang nama itu sebagai anugrah dari sumpah keramatnya. Atau lihatlah Raksasa Bali yang demikian setia akan sumpahnya  untuk memberikan tanah 3 langkah kaki pada Wamana Awatara. Konsekwensi  yang harus ia tanggung sangat berat. Karena  tetap setia pada sumpahnya ia dikutuk Sukra yang marah karena berani melawan perintahnya. Selain itu, ia bahkan harus mati karena terinjak kaki Wamana.
Di Bali, fenomena sumpah dapat kita lihat dari tradisi masesangi (berkaul). Sesungguhnya tradisi ini berawal dari adanya rasa syukur kepada Tuhan atas segala rahmat yang telah diberikan-Nya. Rasa syukur itu diwujudkan dengan membuat suatu upacara sebagai bentuk ungkapan rasa terimakasih. Namun sekarang ini tradisi ini mengalami pergeseran makna. Upacara masesangi dimaknai sebagai bentuk tawar menawar dengan Tuhan. Umat baru mau mempersembahkan sesuatu apabila ia telah memperoleh apa yang ia inginkan. Selain itu, terkadang ada pula rasa enggan untuk melaksanakan apa yang ia sumpahkan ketika keinginannya terwujud. Hal ini menyebabkan upacara nawur sesangi (membayar kaul) yang dilaksanakan kadang kala dilandasi ketidakikhlasan. Mereka melakukan upacara karena takut akan tertimpa bencana. Keiklasan yang lebih ditekankan dalam beryadnya seolah terlupakan.
Tentunya Tuhan tidaklah serendah itu. Tuhan tidak dapat disuap dengan banten atau upacara apapun. Kalau ia berkenan apapun bisa  ia miliki. Sesungguhnya persembahan yang kita haturkan tidaklah bernilai besar apabila dibandingkan dengan segala kepemilikan dan kuasa Tuhan. Upacara yang diamanatkan dalam kitab suci sesungguhnya merupakan sebuah latihan bhakti kepada Tuhan. Dengan mempersembahkan sesuatu maka rasa bhakti kita terhadap Tuhan dapat tumbuh dan terjaga. Kita akan senantiasa tetap mengingat kebesaranNya (Smaranam). Smaranam merupakan cara yang paling sederhana dalam memuja Tuhan dalam jalan bhakti . Jenis bhakti ini akan mampu mengantarkan kita mencapai kebebasan dari ikatan samsara.
                  Adalah hal yang bodoh pula apabila kita meminta hal-hal sepele berupa harta, tahta, maupun hal-hal duniawi yang lain kepada Tuhan. Permintaan-permintaan seperti ini tentu hal yang remeh bagi Tuhan yang Maha Kuasa. Seorang bhakta yang sejati hendaknya memohon hal-hal yang lebih besar yang bersikap kekal. Kita hendaknya meminta Tuhan itu sendiri seperti halnya yang dilakukan oleh Prahlada ketika ditanya berkah apa yang ia inginkan kepada Narayana. Dengan meminta Beliau sendiri maka kita akan mampu menyadari bahwa hal-hal duniawi merupakan kerikil-kerikil penganggu yang menghalangi perjalanan spiritual kita. Untuk apa kita memohon sesuatu yang sesungguhnya akan merusak kita pada akhirnya? Selain itu dengan meminta Beliau langsung maka segala hal yang kita perlukan juga akan kita dapatkan, tanpa adanya rasa keterikatan terhadap hal itu.
                  Dengan kesetiaan pada sumpah yang kita ucapkan maka segala hal yang kita  perlukan akan dapat kita peroleh. Kekuatan dari keteguhan orang yang setia kepada sumpahnya sungguh sangat besar. Hal ini dapat kita lihat dari Gandhari, ibu dari para Kaurawa. Dengan sumpah patiwrata (kesetiaan kepada suami) dan bhaktinya yang demikian besar pada Siwa ia memperoleh kekuatan rohani yang demikian besar. Kata-kata yang ia ucapkan akan menjadi kenyataan. Kemarahan dan kutukannya bahkan ditakuti oleh Krsna dan Pandawa.  Karena kutukannyalah bangsa Vrsni musnah dari muka buni.
                  Contoh lain dari orang yang mempunyai kutukan yang demikian hebat adalah Yudistira, Pandawa tertua. Sepanjang hidupnya ia hanya berbohong satu kali saja, itupun dengan tujuan yang mulia yakni untuk menyelamatkan pasukannya dari kekejaman Drona. Ia berbohong dengan mengatakan bahwa Aswatama telah meninggal, sehingga menjadikan Drona kehilangan semangat dalam berperang. Berkat keteguhan hati dan dharma yang selalu ia jungjung tinggi itu, maka  kata-katanya menjadi sangat bertuah. Diceritakan bahwa ia mengutuk Kunti dan para wanita agar sejak saat  itu para wanita tidak dapat menyimpan rahasianya dalam jangka waktu yang lama. Kutukan ini diucapkannya karena Kunti telah membohonginya demikian lama tentang kelahiran Karna sehingga ia mesti berperang dan membunuh kakaknya Karna dalam ketidaktahuan. Demikian hebat kutukan itu sehingga sekarang ini sangat sulit kita temukan orang yang mampu menyimpang rahasia dalam waktu yang lama.
                  Kekuatan rohani seperti ini dapat kita lihat dari para guru-guru suci sekarang ini. Kata-kata yang ia ucapkan akan menjadi kenyataan berkat latihan spiritual yang ia jalani. Contoh yang gampang diamati adalah pada praktisi Transcendental  Meditation (TM). Seorang praktisi TM di tingkat siddha dengan rajinnya bermeditasi maka ia akan mampu mencapai tingkat kesadaran keempat yakni Tutiya. Di tingkat kesadaran ini kata-kata seorang siddha TM akan menjadi kenyataan. Apapun yang ia pikirkan akan menjadi kenyataan. Inilah berkah suci dari disiplin rohani.
                  Untuk itu, marilah kita berhati-hati dalam mengucapkan sumpah maupun kutukan. Belajarlah dari Bhisma yang hidupnya demikian menderita akibat sumpah membujangnya. Lihat pula kejatuhan spiritual dari Rsi Wiswamitra yang berkali-kali gagal dalam spiritual karena ia begitu mudah marah dan mengutuk orang lain. Kendalikanlah diri dan pikirkanlah matang-matang terlebih dahulu kata-kata yang akan kita ucapkan. Pikirkanlah bahwa kata-kata yang kita ucapkan tidak akan bisa ditarik kembali seperti halnya anak panah yang sudah lepas dari busurnya. Jangan sampai kata-kata yang keluar dari mulut kita adalah kata-kata yang dapat menyakiti hati orang lain ataupun berupa sumpah yang sulit untuk ditepati. Sesungguhnya kendali dalam berucap sangat mendukung kemajuan spiritual yang kita tekuni.
Read More >>