Sabtu, 17 Desember 2011

Kedamaian: Tolak Ukur Agama Masa Depan




Agama diyakini oleh setiap pemeluknya sebagai pesan Tuhan kepada umatnya. Pesan Tuhan yang terangkum dalam kitab suci itu kemudian dijadikan pedoman hidup bagi manusia. Pedoman hidup tersebut diyakini akan mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan baik duniawi maupun rohani.
Namun demikian ternyata dewasa ini banyak sekali umat yang tidak merasakan kebahagian hidup tersebut. Umat merasa hidupnya tidak damai. Kedamaian itu terusik akibat maraknya konflik, baik itu karena dilatarbelakangi oleh perbedaan suku, agama, dan ras; bencana alam; berkembangnya penyakit-penyakit baru yang mematikan; ataupun tingginya angka kriminalitas. Berbagai faktor tersebut menyebabkan umat selalu dibayangi rasa  ketakutan. Mereka takut sewaktu-waktu salah satunya akan mendera mereka.
Tolak ukur yang dapat menggambarkan ketidakdamaian manusia adalah tingginya angka bunuh diri di berbagai daerah. Berbagai alasan melatarbelakangi tindakan nekat orang akan hal ini. Beberapa orang bunuh diri karena terbelit utang, ada yang karena menderita penyakit yang tidak kunjung sembuh, putus pacaran, bahkan ada pula karena urusan sepele berupa tidak diberikan uang jajan oleh orang tuanya. Tolak ukur lain misalnya semakin banyaknya orang-orang yang stress dan depresi. Hal ini mencakup lingkup yang luas; dari berbagai usia, bangsa, dan agama. Tentunya hal tersebut membuat kita bertanya-tanya; sudahkah agama memberikan kedamaian kepada umatnya?
Ajaran agama hendaknya mampu menciptakan perasaan damai di hati para pemeluknya. Dalam ajaran Hindu, banyak sekali akan kita temukan literatur mengenai petunjuk hidup dalam menciptakan perasaan damai ini. Ajaran tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi sebagian orang saja, namun seluruh manusia dari berbagai jenjang pendidikan, umur, dan bangsa.  Hal itu membentang dari ajaran kitab Itihasa dan Purana bagi  mereka yang mempunyai tingkat pemahaman yang masih rendah sampai pada kitab Upanisad bagi yang tingkat pemahamannya lebih tinggi.
Secara umum ajaran dalam berbagai kitab suci tersebut mengajarkan bahwa cara untuk dapat menemukan kedamaian tersebut dengan mulai melangkah “ke dalam diri’. Apabila kita sudah melangkah “ke dalam”, kita tidak akan lagi dibingungkan oleh benda-benda duniawi yang menyebabkan keterikatan yang pada gilirannya akan menimbulkan perasaan tidak damai. Beberapa upaya yang dapat dilakukan misalnya dengan semakin mengintensifkan sembahyang, membaca kitab suci, mendegarkan lagu-lagu rohani, ataupun menonton dan membaca kisah-kisah Itihasa dan Purana.
Hal ini berbeda dengan beberapa agama lain dimana dalam kitab sucinya seringkali mengajarkan kebencian. Beberapa agama mengijinkan pemeluknya itu untuk memerangi orang-orang yang tidak sepaham dengan konsep agama mereka. Hal inilah pemicu utama beberapa perang dan konflik dewasa ini. Tentunya kita semua masih ingat dengan penjajahan berbagai bangsa di Asia dan Afrika beberapa abad yang lalu. Penjajahan oleh bangsa yang mengaku memiliki derajat yang lebih tinggi itu salah  satunya dilatarbelakangi oleh adanya upaya untuk menyebarkan ajaran agama. Memerangi orang kafir dan bidah bukanlah suatu dosa menurut pemahaman kitab suci mereka. Hal itu juga belum termasuk kekerasan yang menimpa agama-agama minoritas yang terjadi di negeri ini.
Solusi dari permasalahan tersebut adalah dengan membuka diri dan menghargai ajaran agama orang lain. Kita hendaknya disiplin dalam berpikir dengan tidak menggunakan pola pikir agama kita untuk memahami ajaran agama lain. Kita tidak akan dapat memahami kedalaman makna ajaran suatu agama apabila kita masih mengkajinya dengan pola pikir dari agama yang kita anut.  Hal ini dapat dianalogikan seperti seseorang yang ingin menebang pohon dengan menggunakan pisau dapur, sebuah kekeliruan yang bodoh dan fatal. Ketika kita sudah dapat berpikir seperti itu maka kita akan dapat menemukan kebenaran dalam agama tersebut. Dengan demikian kita tidak lagi akan memandang rendah orang yang berbeda agama dengan kita dan berusaha membujuk mereka untuk memeluk agama yang kita anut.
Sudah tidak jamannya lagi mengkonversi orang-orang untuk beragama sesuai dengan agama yang kita anut terlebih lagi bagi mereka yang sudah beragama. Sudah tidak jamannya pula kita berebut umat untuk meningkatkan kuantitas pemeluk agama yang kita anut. Kebesaran suatu agama tidak diukur dari seberapa banyak umat yang menganutnya. Tidak pula diukur dari seberapa banyak dan megah tempat pemujaannya.  Kebesaran suatu agama diukur dari seberapa besar sumbangsihnya dalam menciptakan kedamaian di muka bumi . “Semoga  terdapat ketenangan dan kedamaian untuk semua makhluk” (Atharwa Weda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar