Agama diyakini
oleh setiap pemeluknya sebagai pesan Tuhan kepada umatnya. Pesan Tuhan yang
terangkum dalam kitab suci itu kemudian dijadikan pedoman hidup bagi manusia.
Pedoman hidup tersebut diyakini akan mengantarkan seseorang untuk memperoleh
kebahagiaan dalam kehidupan baik duniawi maupun rohani.
Namun demikian
ternyata dewasa ini banyak sekali umat yang tidak merasakan kebahagian hidup
tersebut. Umat merasa hidupnya tidak damai. Kedamaian itu terusik akibat maraknya
konflik, baik itu karena dilatarbelakangi oleh perbedaan suku, agama, dan ras; bencana
alam; berkembangnya penyakit-penyakit baru yang mematikan; ataupun tingginya
angka kriminalitas. Berbagai faktor tersebut menyebabkan umat selalu dibayangi
rasa ketakutan. Mereka takut
sewaktu-waktu salah satunya akan mendera mereka.
Tolak ukur yang dapat
menggambarkan ketidakdamaian manusia adalah tingginya angka bunuh diri di
berbagai daerah. Berbagai alasan melatarbelakangi tindakan nekat orang akan hal ini. Beberapa orang bunuh diri karena terbelit
utang, ada yang karena menderita penyakit yang tidak kunjung sembuh, putus
pacaran, bahkan ada pula karena urusan sepele berupa tidak diberikan uang jajan
oleh orang tuanya. Tolak ukur lain misalnya semakin banyaknya orang-orang yang
stress dan depresi. Hal ini mencakup lingkup yang luas; dari berbagai usia,
bangsa, dan agama. Tentunya hal tersebut membuat kita bertanya-tanya; sudahkah
agama memberikan kedamaian kepada umatnya?
Ajaran agama
hendaknya mampu menciptakan perasaan damai di hati para pemeluknya. Dalam
ajaran Hindu, banyak sekali akan kita temukan literatur mengenai petunjuk hidup
dalam menciptakan perasaan damai ini. Ajaran tersebut tidak hanya diperuntukkan
bagi sebagian orang saja, namun seluruh manusia dari berbagai jenjang
pendidikan, umur, dan bangsa. Hal itu
membentang dari ajaran kitab Itihasa dan Purana bagi mereka yang mempunyai tingkat pemahaman yang
masih rendah sampai pada kitab Upanisad bagi yang tingkat pemahamannya lebih
tinggi.
Secara umum ajaran
dalam berbagai kitab suci tersebut mengajarkan bahwa cara untuk dapat menemukan
kedamaian tersebut dengan mulai melangkah “ke dalam diri’. Apabila kita sudah
melangkah “ke dalam”, kita tidak akan lagi dibingungkan oleh benda-benda
duniawi yang menyebabkan keterikatan yang pada gilirannya akan menimbulkan
perasaan tidak damai. Beberapa upaya yang dapat dilakukan misalnya dengan
semakin mengintensifkan sembahyang, membaca kitab suci, mendegarkan lagu-lagu
rohani, ataupun menonton dan membaca kisah-kisah Itihasa dan Purana.
Hal ini berbeda
dengan beberapa agama lain dimana dalam kitab sucinya seringkali mengajarkan
kebencian. Beberapa agama mengijinkan pemeluknya itu untuk memerangi
orang-orang yang tidak sepaham dengan konsep agama mereka. Hal inilah pemicu utama beberapa perang dan
konflik dewasa ini. Tentunya kita semua masih ingat dengan penjajahan berbagai
bangsa di Asia dan Afrika beberapa abad yang lalu. Penjajahan oleh bangsa yang
mengaku memiliki derajat yang lebih tinggi itu salah satunya dilatarbelakangi oleh adanya upaya
untuk menyebarkan ajaran agama. Memerangi orang kafir dan bidah bukanlah suatu
dosa menurut pemahaman kitab suci mereka. Hal itu juga belum termasuk kekerasan
yang menimpa agama-agama minoritas yang terjadi di negeri ini.
Solusi dari
permasalahan tersebut adalah dengan membuka diri dan menghargai ajaran agama
orang lain. Kita hendaknya disiplin dalam berpikir dengan tidak menggunakan
pola pikir agama kita untuk memahami ajaran agama lain. Kita tidak akan dapat
memahami kedalaman makna ajaran suatu agama apabila kita masih mengkajinya
dengan pola pikir dari agama yang kita anut. Hal ini dapat dianalogikan seperti seseorang
yang ingin menebang pohon dengan menggunakan pisau dapur, sebuah kekeliruan
yang bodoh dan fatal. Ketika kita sudah dapat berpikir seperti itu maka kita
akan dapat menemukan kebenaran dalam agama tersebut. Dengan demikian kita tidak
lagi akan memandang rendah orang yang berbeda agama dengan kita dan berusaha
membujuk mereka untuk memeluk agama yang kita anut.
Sudah tidak
jamannya lagi mengkonversi orang-orang untuk beragama sesuai dengan agama yang
kita anut terlebih lagi bagi mereka yang sudah beragama. Sudah tidak jamannya pula
kita berebut umat untuk meningkatkan kuantitas pemeluk agama yang kita anut. Kebesaran suatu agama tidak diukur dari
seberapa banyak umat yang menganutnya. Tidak pula diukur dari seberapa banyak
dan megah tempat pemujaannya. Kebesaran
suatu agama diukur dari seberapa besar sumbangsihnya dalam menciptakan
kedamaian di muka bumi . “Semoga terdapat
ketenangan dan kedamaian untuk semua makhluk” (Atharwa Weda)
Thanks for reading: Kedamaian: Tolak Ukur Agama Masa Depan, Sorry, my English is bad:)