Tulya ninda stutir
mauni samtusto yena kenacit
Aniketah sthira matir
bhaktiman me priyo narah
(Bhagawadgita
XII – 19)
Dia yang bisa bersikap sama terhadap hujatan
maupun pujian; yang adalah diam (terkendali di dalam bicaranya), puas dengan
apa saja (yang datang), yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap dan teguh
di dalam pikiran, dia yang dengan demikian penuh bhakti, dia adalah yang Aku
cintai.
Perkembangan
zaman yang semakin modern membuat nilai-nilai agama yang selama ini diyakini
kebenaran dan kesuciannya semakin memudar. Banyak tatanan moral agama yang
dilanggar hanya demi kepuasan duniawi. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh
masyarakat awam namun juga oleh para ahli agama. Ahli agama yang selama ini
diyakini petuah dan moralnya malah memanfaatkan ajaran agama untuk kepentingan
pribadinya. Ayat-ayat suci kitab suci diputarbalikkan maknanya hanya untuk
membenarkan perilaku kelirunya.
Demikian halnya dengan sumpah yang saat ini dimaknai
keliru. Sumpah yang dulu dianggap sacral, sekarang ini dianggap angin lalu
saja. Sumpah sudah bersifat profan yang menjadi bagian penting ketika
berbohong. Dalam perkara pengadilan tidak jarang orang yang bersumpah atas nama
Tuhannya dan dengan tenang berani berkata bohong. Kejujuran dan kesetiaan akan
kata-kata mungkin sudah demikian memudar. Hal ini memang tidak terlepas dari
jarangnya kekeliruan akan sumpah yang diucapkan yang tidak langsung memberikan
efek “sengsara” bagi mereka yang melanggarnya. Disamping itu, menipisnya
keyakinan akan hukum karma menyebabkan orang dengan berani berbuat sesuka hati
demi keuntungan pribadi.
Berbeda halnya
dengan sumpah yang dilakukan oleh para tokoh dalam berbagai cerita Itihasa dan
Purana. Sumpah dimaknai dengan sangat sacral. Bahkan mereka menganggap kebenaran
tertinggi ada pada sumpah yang mereka ucapkan. Lihat saja Bisma, Panglima
Kaurawa ketika Bharata Yuda yang bersumpah untuk hidup membujang (tidak
menikah) sepanjang hidupnya. Demi sumpahnya ia rela untuk melawan perintah ibu
dan gurunya sendiri. Padahal dalam Taitriya Upanisad dikatakan bahwa Mrtu dewa bhawa, Acarya dewa bhawa (ibu
dan guru merupakan perwujudan Tuhan di dunia yang mesti di hormati dan dipatuhi
perintahnya). Tidak hanya sampai di sana
sumpah kesetiaanya pada Hastina Pura, kerajaannya juga membuatnya berani
melawan Pandawa yang berada di pihak dharma. Sungguh demikian besar kesetiaan
Bisma terhadap sumpahnya sehingga ia layak menyandang nama itu sebagai anugrah
dari sumpah keramatnya. Atau lihatlah Raksasa Bali yang demikian setia akan
sumpahnya untuk memberikan tanah 3
langkah kaki pada Wamana Awatara. Konsekwensi
yang harus ia tanggung sangat berat. Karena tetap setia pada sumpahnya ia dikutuk Sukra
yang marah karena berani melawan perintahnya. Selain itu, ia bahkan harus mati
karena terinjak kaki Wamana.
Di Bali,
fenomena sumpah dapat kita lihat dari tradisi masesangi (berkaul). Sesungguhnya
tradisi ini berawal dari adanya rasa syukur kepada Tuhan atas segala rahmat
yang telah diberikan-Nya. Rasa syukur itu diwujudkan dengan membuat suatu
upacara sebagai bentuk ungkapan rasa terimakasih. Namun sekarang ini tradisi
ini mengalami pergeseran makna. Upacara masesangi dimaknai sebagai bentuk tawar
menawar dengan Tuhan. Umat baru mau mempersembahkan sesuatu apabila ia telah
memperoleh apa yang ia inginkan. Selain itu, terkadang ada pula rasa enggan
untuk melaksanakan apa yang ia sumpahkan ketika keinginannya terwujud. Hal ini
menyebabkan upacara nawur sesangi (membayar kaul) yang dilaksanakan kadang kala
dilandasi ketidakikhlasan. Mereka melakukan upacara karena takut akan tertimpa bencana.
Keiklasan yang lebih ditekankan dalam beryadnya seolah terlupakan.
Tentunya Tuhan
tidaklah serendah itu. Tuhan tidak dapat disuap dengan banten atau upacara
apapun. Kalau ia berkenan apapun bisa ia
miliki. Sesungguhnya persembahan yang kita haturkan tidaklah bernilai besar
apabila dibandingkan dengan segala kepemilikan dan kuasa Tuhan. Upacara yang
diamanatkan dalam kitab suci sesungguhnya merupakan sebuah latihan bhakti kepada
Tuhan. Dengan mempersembahkan sesuatu maka rasa bhakti kita terhadap Tuhan
dapat tumbuh dan terjaga. Kita akan senantiasa tetap mengingat kebesaranNya
(Smaranam). Smaranam merupakan cara yang paling sederhana dalam memuja Tuhan
dalam jalan bhakti . Jenis bhakti ini akan mampu mengantarkan kita mencapai
kebebasan dari ikatan samsara.
Adalah hal yang bodoh pula
apabila kita meminta hal-hal sepele berupa harta, tahta, maupun hal-hal duniawi
yang lain kepada Tuhan. Permintaan-permintaan seperti ini tentu hal yang remeh
bagi Tuhan yang Maha Kuasa. Seorang bhakta yang sejati hendaknya memohon
hal-hal yang lebih besar yang bersikap kekal. Kita hendaknya meminta Tuhan itu
sendiri seperti halnya yang dilakukan oleh Prahlada ketika ditanya berkah apa
yang ia inginkan kepada Narayana. Dengan meminta Beliau sendiri maka kita akan
mampu menyadari bahwa hal-hal duniawi merupakan kerikil-kerikil penganggu yang
menghalangi perjalanan spiritual kita. Untuk apa kita memohon sesuatu yang
sesungguhnya akan merusak kita pada akhirnya? Selain itu dengan meminta Beliau
langsung maka segala hal yang kita perlukan juga akan kita dapatkan, tanpa
adanya rasa keterikatan terhadap hal itu.
Dengan kesetiaan pada sumpah
yang kita ucapkan maka segala hal yang kita
perlukan akan dapat kita peroleh. Kekuatan dari keteguhan orang yang
setia kepada sumpahnya sungguh sangat besar. Hal ini dapat kita lihat dari
Gandhari, ibu dari para Kaurawa. Dengan sumpah patiwrata (kesetiaan kepada
suami) dan bhaktinya yang demikian besar pada Siwa ia memperoleh kekuatan
rohani yang demikian besar. Kata-kata yang ia ucapkan akan menjadi kenyataan.
Kemarahan dan kutukannya bahkan ditakuti oleh Krsna dan Pandawa. Karena kutukannyalah bangsa Vrsni musnah dari
muka buni.
Contoh lain dari orang yang
mempunyai kutukan yang demikian hebat adalah Yudistira, Pandawa tertua. Sepanjang
hidupnya ia hanya berbohong satu kali saja, itupun dengan tujuan yang mulia
yakni untuk menyelamatkan pasukannya dari kekejaman Drona. Ia berbohong dengan
mengatakan bahwa Aswatama telah meninggal, sehingga menjadikan Drona kehilangan
semangat dalam berperang. Berkat keteguhan hati dan dharma yang selalu ia
jungjung tinggi itu, maka kata-katanya
menjadi sangat bertuah. Diceritakan bahwa ia mengutuk Kunti dan para wanita
agar sejak saat itu para wanita tidak
dapat menyimpan rahasianya dalam jangka waktu yang lama. Kutukan ini
diucapkannya karena Kunti telah membohonginya demikian lama tentang kelahiran
Karna sehingga ia mesti berperang dan membunuh kakaknya Karna dalam
ketidaktahuan. Demikian hebat kutukan itu sehingga sekarang ini sangat sulit
kita temukan orang yang mampu menyimpang rahasia dalam waktu yang lama.
Kekuatan rohani seperti ini
dapat kita lihat dari para guru-guru suci sekarang ini. Kata-kata yang ia
ucapkan akan menjadi kenyataan berkat latihan spiritual yang ia jalani. Contoh
yang gampang diamati adalah pada praktisi Transcendental Meditation (TM). Seorang praktisi TM di
tingkat siddha dengan rajinnya bermeditasi maka ia akan mampu mencapai tingkat
kesadaran keempat yakni Tutiya. Di tingkat kesadaran ini kata-kata seorang
siddha TM akan menjadi kenyataan. Apapun yang ia pikirkan akan menjadi
kenyataan. Inilah berkah suci dari disiplin rohani.
Untuk itu, marilah kita
berhati-hati dalam mengucapkan sumpah maupun kutukan. Belajarlah dari Bhisma
yang hidupnya demikian menderita akibat sumpah membujangnya. Lihat pula
kejatuhan spiritual dari Rsi Wiswamitra yang berkali-kali gagal dalam spiritual
karena ia begitu mudah marah dan mengutuk orang lain. Kendalikanlah diri dan
pikirkanlah matang-matang terlebih dahulu kata-kata yang akan kita ucapkan.
Pikirkanlah bahwa kata-kata yang kita ucapkan tidak akan bisa ditarik kembali
seperti halnya anak panah yang sudah lepas dari busurnya. Jangan sampai
kata-kata yang keluar dari mulut kita adalah kata-kata yang dapat menyakiti
hati orang lain ataupun berupa sumpah yang sulit untuk ditepati. Sesungguhnya
kendali dalam berucap sangat mendukung kemajuan spiritual yang kita tekuni.
Thanks for reading: Berhati-hatilah dalam Mengucapkan Sumpah dan Kutukan, Sorry, my English is bad:)