samo ‘ham sarwa
bhutesu
na me dvesyo ‘sti na
priyah
ye bhajanti tu mam
bhaktya
mayi te tesu capy
aham
Aku adalah sama bagi
semua makluk,
bagi-Ku tiada yang
terbenci dan terkasihi,
tetapi mereka yang
berbhakti kepadaku dengan penuh pengabdian,
mereka ada pada-Ku
dan Aku ada pada mereka
(Bhagawadgita IX-29)
Tak bisa kita pungkiri bahwa kehidupan beragama Hindu
khususnya di Bali banyak dipengaruhi oleh
mitos-mitos gaib. Mitos tersebut misalnya kepongor yakni sebuah kepercayaan
yang menganggap dewa-dewa atau roh-roh leluhur melakukan penghukuman terhadap
manusia atas tindakan-tindakan yang dianggap menyalahi hukum-hukum alam
esoteris. Contoh yang dapat diambil yakni maraknya umat yang terpaksa
melaksanakan upacara berskala besar walau sebenarnya secara konomi mereka tidak
mampu. Justifikasi dari para Balian
Sonteng akan pesan dari para dewa atau leluhur mengenai ukuran upacara tidak
berani mereka bantah, mereka takut kepongor.. Pilihan ukuran melaksanakan yadnya
seolah terabaikan. Keiklasan yang dalam sastra dikatakan lebih utama menjadi
tidak berarti. Akibatnya umat Hindu dalam
melaksanakan ritual banyak yang dilandasi ketakutan bukan keikalsan.
Umat melaksanakan upacara hanya karena takut kepongor atau kemarahan Tuhan.
Tattwa agama tampak dikalahkan oleh ketakutan umat akan mitos gaib.
Namun
demikian fenomena ini justru dapat
dimanfaatkan untuk menanamkan sraddha dan moralitas kepada umat terutama
bagi generasi muda. Maraknya tindak kejahatan dan rendahnya moralitas generasi
muda dapat diperbaiki dengan mengintegrasikan mitos gaib ini dalam pendidikan
agama Hindu. Dengan adanya kepercayaan ini para generasi muda akan tunduk dan
patuh terhadap ajaran agama. Kepongor ini akan menuntun generasi muda untuk
senantiasa rajin sembahyang. Demikian pula dengan rasa hormat mereka kepada
leluhur dapat dibentuk. Sifat itu kemudian dapat mereka wujudnyatakan dengan
menhormati orang tua mereka di rumah maupun orang yang dituakan serta
masyarakat pada umumnya. Dengan demikian implikasi dari kepercayaan kepongor
ini akan berdampak langsung dalam membentuk karakter generasi muda yang
berbhakti dan santun.
Hal
tersebut kami rasakan sendiri. Ketika
kecil kami diajarkan untuk senantiasa rajin sembahyang. Keluar rumah baik itu ke
sekolah ataupun jalan-jalan kami diajarkan untuk sembahyang terlebih dahulu.
Kami juga diajarkan untuk senantiasa hormat kepada orang yang lebih tua. Jika
itu dilanggar maka dikatakan bahwa kami akan kepongor. Pun ketika kami aktif
sebagai anggota Pramuka. Ketika saat pelantikan kami mengucapkan Tri Satya yang
syarat dengan janji-janji moral di sebuah pura yang konon keramat. Pendidikan
masa kecil dan janji di pura itu menjadikan kami takut untuk berbuat yang tidak
baik karena kami takut kepongor. Setelah mempelajari filsafat kami baru
menyadari kesalahan dari alur berpikir tersebut. Tapi kami justru bersyukur
karena berkat ajaran tersebut kami senantiasa tertuntun untuk selalu berbuat
baik. Ini membuktikan bahwa mitos kepongor sangat efektif sebagai metode
pembelajaran agama Hindu.
Sesungguhnya
kepercayaan akan kepongor ini juga terdapat dalam Itihasa dan Purana. Cerita
akan kehancuran para raksasa akibat keangkuhan dan keangkaramurkaannya juga
merupakan bentuk kepongornya kepada para dewa. Hiranyakasipu, Rawana, Sisupaladan
Duryodana merupakan tokoh-tokoh yang terkenal kepongor dalam Purana dan
Itihasa. Itihasa dan Purana seolah berpesan agar kita semua menjadi orang baik
dan tidak sekali-kali berani melawan dewa atau leluhur. Cukup dipercaya dan
lakukan dan hasilnya akan kita dapatkan pada akhirnya.
Mitos kepongor
ini hendaknya juga diimbangi dengan cerita orang-orang sukses akibat pengabdian
dan rasa hormatnya kepada para dewa dan leluhur. Dengan demikian generasi muda
akan termotivasi untuk senantiasa berbuat baik dan takut berbuat jahat. Dalam hal ini seorang guru atau orang tua di
rumah dapat menanamkan cerita-cerita keteladanan dari Prahlada, Rama, Pandawa,
dan sebagainya yang kehidupannya
berujung pada kesuksesan. Di rumah seorang orangtua hendaknya menyisihkan waktu
untuk menceritakan cerita-cerita Purana dan Itihasa tersebut kepada anaknya.
Tradisi mendongeng sebelum tidur yang semakin ditinggalkan akibat kemajuan
teknologi hendaknya dibangkitkan kembali. Tidak bisa dipungkiri bahwa selain
mendatangkan manfaat yang besar, teknologi juga berpengaruh buruk terhadap
karakter anak. Maraknya game-game serta
tontonan di televisi yang berbau kekerasan dan tindakan asusila sangat
mempengaruhi karakter anak ke arah yang buruk.
Namun demikian
hendaknya ketika mereka sudah beranjak dewasa diajarkan kebenaran filsafat dan
tattwa sehingga mampu mengkritisi kebenaran dari mitos kepongor tersebut.
Melalui pendalaman filsafat mereka akan memahami bahwa para dewa dan leluhur
sesungguhnya sangat pemurah dan pemaaf. Dengan demikian mereka pada nantinya
juga akan mengetahui maksud sesungguhnya dari kepercayaan kepongor tersebut
yang sesungguhnya ingin menanamkan sraddha dan moralitas. Pembinaan-pembinaan
kepada umat secara keseluruhan juga sangat diperlukan sehingga sraddha dan
bhakti umat dapat ditingkatkan dan tidak dikalahkan oleh mitos-mitos yang tidak
jelas dasar sastranya.
Thanks for reading: Kepongor: Metode Pendidikan Agama yang Efektif, Sorry, my English is bad:)