Populasi Hindu
di Bali semakin menipis. Banyak umat Hindu yang sekarang ini beralih agama. Ada yang berpendapat
bahwa hal tersebut disebabkan oleh peran Desa Pakraman yang semakin kehilangan
taring. Desa Pakraman tidak mampu menjadi tameng bagi masuknya ajaran agama
baru yang masuk ke suatu wilayah. Belakangan malah disimpulkan bahwa Hindu
tidak akan mampu bertahan apabila tidak ada Desa Pakraman.
Pendapat
tersebut tidak sepenuhnya benar. Memang benar bahwa organisasi yang kuat
seperti Desa Pakraman dibutuhkan bagi perkembangan agama Hindu. Melalui Desa
Pakraman umat dapat dibina dan ditumbuhkan kecintaannya akan agama Hindu. Namun
sayang dalam prakteknya desa pakraman jusru berkutat dalam “melestarikan adat
yang kaku”, tidak jarang pada hal-hal yang sudah tidak relevan lagi dengan perubahan
jaman sekarang ini. Desa Pakraman yang tetap kaku dengan adatnya malah
menjadikan umat empati terhadap Desa Pakraman. Kita dapat lihat fenomena
tersebut di beberapa daerah. Di daerah masih saja ada permasalahan kasta, kasepekang,
rebutan setra, dan tapal batas.
Tidak
bisa dipungkiri bahwa banyaknya umat kita yang berpindah agama karena masalah
kasta. Adat yang pro system kasta di
tengah kemajuan jaman sangat rentan mendapat perlawanan dari mereka yang
dianggap lebih rendah. Adalah hal yang manusiawi bahwa manusia ingin dianggap
lebih tinggi dari orang lain mengingat hakekat manusia yang bersifat Satyam
(kebenaran), Siwam (kebajikan), dan Sundaram (keindahan). Karena hakekat
tersebut maka manusia akan merasa bersalah apabila melakukan perbuatan yang
melanggar nilai-nilai kebenaran dan kebajikan. Manusia juga akan merasa
dilecehkan apabila ia dianggap tidak indah/rendah karena hakekat Sundaram dalam
dirinya. Inilah bentuk kekeliruan dari adat dalam menerjemahkan konsep agama.
Ajaran Catur Warna yang demikian bijaksana dianggap sebagai justifikasi untuk
melakukan stratifikasi social secara sempit seperti yang ada dalam kasta. Ajaran
Hindu yang sangat menghargai persamaan harkat dan martabat makhluk hidup
terlihat tidak adil. Jika system kasta ini tetap dipertahankan dengan kaku maka
jumlah umat akan terus-menerus berkurang mengingat jumlah penduduk yang
digolongkan ke kasta rendah jauh lebih dominan.
Demikian
pula halnya dengan masalah kasepekang, rebutan setra dan tapal batas yang marak
beberapa waktu belakangan ini yang sangat tidak manusiawi. Masalah-masalah
tersebut malah menjadikan umat Hindu menjadi sangat ngeri terhadap Desa
Pakramannya sendiri. Umat Hindu di Bali seolah beragama lebih karena
ketakutannya terhadap adat, bukan karena Sraddha dan Bhaktinya terhadap Tuhan. Bisa
saja orang yang bersembahyang tersebut
karena mereka takut terkena sangsi adat seperti kasepekang. Adat seperti ini
akan menghambat orang-orang Hindu untuk maju. Bayangkan bagaimana mungkin
seorang Hindu akan mempu menjadi General Manager di suatu perusahaan apabila
dia juga harus rutin mengikuti sangkep-sangkep kecil di banjar yang kadang
digunakan untuk minum-minum?
Adat
juga kerap menyebabkan orang menjadi berat menjadi seorang Hindu. Adat yang
kaku umumnya mengharuskan orang untuk melakukan upacara-upacara yang besar. Dalam
upacara Ngaben misalnya, seseorang harus mengeluarkan biaya yang sangat besar
untuk itu agar sesuai dengan adat setempat. Ajaran Hindu yang menyediakan
berbagai pilihan dalam beryadnya seolah tak berdaya ketika sudah berhadapan
dengan adat. Untuk itu tidaklah salah apabila sekarang ini banyak bermunculan
crematorium sebagai salah satu solusi permasalahan adat khususnya bagi mereka
yang kasepekang dan tidak mampu.
Berbagai
permasalahan adat tersebut hendaknya kita renungkan kembali untuk dicarikan
solusi yang paling tepat. Melihat begitu kompleksnya permasalahan adat sekarang
ini maka tentunya membuat orang Hindu berpikir kembali untuk tetap menganut
Hindu. Tanpa dikonversipun banyak oang Hindu yang sudah beralih agama. Apa
jadinya Hindu jika permasalahan seperti ini tetap dibiarkan terus menerus?
Untuk itu adat
hendaknya mampu untuk berbenah diri. Adat hendaknya disesuaikan dengan
perkembangan jaman dan nilai-nilai agama Hindu. Desa Pakraman hendaknya mampu
menjadi Hindu Center di masing-masing desa seperti
halnya program Pemprov Bali beberapa waktu lalu. Program tersebut hendaknya
lebih diarahkan pada pembelajaran ketrampilan hidup untuk memperkuat daya saing
umat Hindu dalam persaingan global berdasarkan ajaran Hindu, bukan sebaliknya
dengan bermimpi kembali ke masa lalu dengan adat yang kental. Untuk mengontrol adat
dapat pula ditempuh dengan menempatkan guru-guru agama Hindu dalam kepengurusan
Desa Pakraman. Di desa kami yang adatnya masih kental hal ini sangat membantu. Parisada
sebagai lembaga tertinggi umat juga hendaknya berperan aktif untuk menelaah dan
mengkritisi adat-adat yang keliru. Lebih lanjut Parisada hendaknya aktif dalam
memberikan pencerahan rohani sehingga ajaran adat dapat disesuaikan dengan
ajaran Hindu.
Thanks for reading: Adat Justru Menghancurkan Hindu, Sorry, my English is bad:)