Hari Lahir Pancasila tahun ini harus dikenang dengan
pahit. Betapa tidak hari dimana
Pancasila lahir malah ternoda oleh perilaku kekerasan yang dilakukan oleh Front
Pembela Islam (FPI) kepada Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan(AKKBB) yang melakukan aksi damai di silang Monas. FPI mengklaim
AKKBB melakukan tindakan penghinaan terhadap organisasinya. Secara khusus
penyebab insiden ini yaitu FPI menuding AKKBB menginginkan kebebasan
berkeyakinan bagi masyarakat Indonesia khususnya bagi Ahmadiyah, sebuah aliran
baru dari agama Islam yang mempunyai ajaran tersendiri.FPI menuding AKKBB
pro-Ahmadiyah yang dianggapnya sesat
dan menodai ajaran Islam.
Aksi tersebut mendapat kecaman dari berbagai
element bangsa bahkan dari umat Islam sendiri. Masyarakat menuntut agar FPI
segera dibubarkan.Di daerah-daerah bahkan dilakukan tindakan sweeping terhadap
anggota FPI. Kalau kita cerdas berpikir maka tentunya kita akan bertanya-tanya
tidakkah ada kebebasan dalam hidup beragama sampai sebuah keyakinan seperti
Ahmadiyah harus dilarang? Tidakkah pemerintah malah melakukan pelanggaran HAM
berat dengan melarang seseorang menganut keyakinan tertentu yang notabene
merupakan hak asasi yang paling hakiki?
Mungkin masih segar dalam ingatan kita semua akan aksi pro kontra terhadap pornoaksi
dan pornografi beberapa tahun yang lalu. Inilah salah satu bentuk intoleransi
terhadap keyakinan orang lain. Suatu kelompok memaksakan pemahamannya terhadap
pornoaksi dan pornografi dari sudut pandangnya sendiri tanpa melihat orang lain
mempunyai pemahaman yang berbeda tentang hal tersebut. Pemerintah juga dituntut
untuk segera mengesahkan RUU APP itu menjadi UU. Kalau itu terjadi tidakkah
pemerintah membatasi warganya dalam berkeyakinan? Adanya pihak yang pro dan
kontra tidak jarang menimbulkan aksi anarkis terhadap kelompok lainnya. Hal
tersebut terkadang membuat kita bertanya-tanya kembali :mengapa agama malah
menjadi sumber konflik? Kalau demikian tidakkah
sebaiknya Indonesia menjadi negara sekuler saja?
Pancasila sebagai idiologi bangsa sebenarnya sudah
mengamanatkan hal ini. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidaklah berarti Indonesia
tidak boleh menjadi negara sekuler. Sila
pertama Pancasila tersebut mengisyaratkan kepada kita agar menghormati
keyakinan agama lain.. Tetapi dengan sistem pemerintahan sekarang ini, sangatlah
sulit dalam membentuk toleransi antarwarga. Kendali pemerintahan ternyata tidak
adil dimana orang-orang pemerintahan kebanyakan diisi oleh orang dari agama
mayoritas. Hal ini berakibat kebijakan pemerintah menjadi berat sebelah.
Kelompok minoritas kerap kali terpinggirkan sedangkan kelompok mayoritas
semakin berani bertindak sewenang-wenang. Pemerintah juga menjadi tidak tegas
dalam menindak aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok mayoritas.Contoh
nyatanya dapat kita lihat dari perusakan Pura Sangkarehyang beberapa waktu
lalu. Pemerintah terkesan lambat dan yang lebih memprihatinkan media juga
seperti membisu melihat aksi ini.
Pembentukan negara sekuler juga mampu meningkatkan
efisiensi pemerintah. Pemerintah tidak perlu lagi membentuk Departemen Agama.
Bayangkan berapa rupiah yang dapat dihemat dari hal ini. Beberapa tahun yang
lalu bahkan ada indikasi bahwa Departemen Agama
adalah departemen terkorup di negeri ini. Alangkah bagusnya dana
keagaamaan yang besar seperti itu dapat dialokasikan kepada sektor pendidikan.
Dana itu akan mampu membantu pembenahan pendidikan di negeri ini yang buruk. Melalui
pendidikan ini juga dapat dilakukan pembenahan terhadap mentalitas generasi
muda dengan menekankan pentingnya toleransi dalam kehidupan. Hal ini dapat
dilakukan melalui pelajaran tertentu misalnya saja pendidikan Pancasila seperti
yang sudah ada.
Kita dapat belajar dari India yang notabene merupakan
negara sekuler. Di sana warganya bebas beribadat sesuai dengan keyakinannya.
Tidak ada yang akan mempermasalahkan kalau seorang yogi disana melakukan ritual
dengan telanjang. Dan kita lihat konflik di India tidaklah separah di negeri
ini. Yang lebih penting lagi pendidikan mereka
berkembang dengan baik dimana outputnya diakui secara internasional.
Dengan benruk negara sekuler, maka pemerintah
tidak akan saling lempar tangung jawab terhadap permasalahan keumatan. Dalam
kasus FPI saja pemerintah juga
kebingungan dalam menentukan sikap terhadap FPI apakah yang berwenang
Kementrian Hukum dan HAM atau dari Kementrian Dalam Negeri. Kepolisisan juga
menjadi takut mengambil tindakan yang tegas. Dengan bentuk negara sekuler maka
kepolisian dapat bertindak lebih tegas
karena masalah keamanan akan sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya.
Tentunya opsi ini adalah opsi terakhir yang
harus dikaji kembali. Jika negara masih gagal dalam menjamin kebebasan
rakyatnya dalam beribadat sesuai dengan ajaran agamanya dan tidak mampu
membentuk toleransi beragama antarwarganya
maka opsi ini hendakya dapat dipikirkan untuk diterapkan. Hidup berbangsa yang
multikultur dengan rukun tanpa adanya toleransi adalah hal yang mustahil. Ini
hanya akan menyuburkan konflik antarwarga dan bahkan akan mengancam persatuan
bangsa
Thanks for reading: Konflik Beragama: Perlukah Indonesia Menjadi Negara Sekuler?, Sorry, my English is bad:)