Beberapa hari yg
lalu kita memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM). Peringatan ini mempunyai
arti yg penting bagi Negara kita mengingat Negara kitalah yg pertama kali
mencantumkan pokok-pokok perlindungan hak-hak asasi manusia ke dalam UUD-nya,
jauh sebelum PBB dengan Declaration of Human Right-nya. Namun demikian ternyata
masih banyak kesenjangan antara pelaksanaan UUD tersebut dengan prakteknya di
masyarakat.
Masih segar dalam
ingatan kita Tragedi Semanggi dan Tri Saksi yang menelan banyak korban
mahasiswa yang terbungkam kebebasan menyatakan pendapatnya. Atau kalau tidak
mungkin anda tentu mengingat kasus Munir, seorang aktivis HAM yang dibunuh,
tetapi pelakunya dapat bebas dengan seketika. Kedua kasus pelanggaran HAM
tersebut hanyalah sebagian kecil contoh-contoh pelanggaran HAM di negeri ini.
Apabila kita jeli menyimak maka kita akan menemukan ribuan pelanggaran HAM yang
telah terjadi selama perjalanan pemerintahan di Indonesia baik dari jaman Orde Baru
sampai sekarang. Hal tersebut merupakan bukti nyata lemahnya penegakan hukum di
Negara kita.
Ranah agamapun
tidak ketinggalan memberikan andil dalam pelanggaran HAM ini. Kaum agamawan
yang selama ini dihormati dan dianggap
suci ternyata masih saja bertindak menyimpang. Memang hal yang manusiawi
bila kita berbuat salah, namun sangatlah bodoh apabila kita yang sudah berulang
kali diberi tahu namun tetap tidak mengerti.
Kasus
pelanggaran HAM berat di negeri ini yang dari masa ke masa tidak henti-hentinya
yaitu konversi agama. Pemaksaan terhadap keyakinan kita agar dianut oleh orang
lain sudah jelas-jelas dilarang oleh UUD karena keyakinan terhadap suatu agama
diyakini sebagai keyakinan yang paling hakiki karena menyangkut hubungan
manusia secara pribadi dengan Tuhannya.
Seringkali
agama-agama kecil dikonversi agar masuk suatu agama tertentu. Pemerintah yang
seharusnya menegakkan hak-hak asasi manusia seolah diam saja. Pemerintah seolah
tidak punya taring mengingat pengaruh kuatagama tersebut di politik.
Kita dapat
belajar dari sejarah dari keruntuhan kerajaan Majapahit. Dari cerita Sabda
Palon kita dapat mengetahui bagaimana keruntuhan kerajaaan terbesar Siwa-Budha
ini. Kerajaan Majapahit jatuh ke tangan Kerajaan Muslim karena Raja Brawijaya
yang kala itu memerintah Majapahit dikhianati oleh Kerajaan Demak yang
diperintah oleh anaknya sendiri, Raden Patah. Sungguh sangat ironis alasan di
balik itu semua. Ternyata bagi Raden Patah membasmi orang-orang “kafir”
merupakan amal baik yang sangat tinggi dan mereka yang melakukan itu akan hidup
di Surga. Hal tersebut membuat saya bertanya-tanya: Apakah agama sekarang sudah
demikian jauhnya dari dharma sehingga seorang anak berani melawan ayahnya
sendiri hanya demi kenikmatan Surga?
Adakah kebahagiaan bagi mereka yang membunuh anggota keluarganya sendiri?
Mungkin akan lebih baik apabila kita tidak beragama saja daripada berani
melawan orang tua. Adalah dharma seorang anak untuk menghormati orangtuanya.
Kita dapat belajar dari
Yudistira, Pandawa tertua mengenai bagaimana semestinya menghormati orangtua.
Diceritakan dalam cerita Mahabharata bahwa demi menjaga kata-kata dan
kehormatan ibunya Kunti, Pandawa bersaudara menikahi Draupadi. Ketika itu
merupakan hal yang tidak lumrah apabila seorang istri bersuami lebih dari satu
orang. Dharmasastra juga mengatakan demikian. Namun bagi Pandawa, Ibunya lebih
penting daripada Dharmasastra apapun. Taitriya Upanisad mengatakan orangtua
merupakan perwujudan Tuhan di dunia yang mesti dihormati(Mrta dewa bhawa, Prta
dewa bhawa).
Sedangkan di era globalisasi ini
masih ada saja pelanggaran HAM karena “perebutan Surga”.
Kita dapat lihat
kasus-kasus di Poso, Maluku, dan beberapa daerah konflik lainnya yang
masing-masing mengklaim sebagai agama yang paling benar dan kemuliaan bagi
mereka yang berhasil membawa penganut baru ke dalam agamanya. Adakah Surga bagi
mereka yang menyakiti orang lain? Yogasara Samgraha mengatakan “Ahimsayah paro
dharma”, Dharma yang paling tinggi nilainya adalah tidak menyakiti, baik dari
segi pikiran, perkataan, maupun perbuatan.
Mungkin kita
perlu rembug bersama akan apa yang dinamakan kafir dan bidah itu sesungguhnya
sehingga kasus-kasus pelanggaran HAM atas nama Surga tidak terjadi lagi. Saya
yakin kalau semua agama mengajarkan tentang kebijaksaan agar berbuat santun,
jujur, dan menghindari perbuatan tercela. Mungkin pemahaman kita yang
sepotong-sepotong terhadap agama kita dan agama orang lain yang seringkali
menyebabkan kita bertindak ekstrim seperti itu. Dengan adanya pemahaman yang
benar terhadap keyakinan orang lain maka kita akan mengormati keyakinan orang
tersebut. Semoga kasus-kasus pelanggaran HAM karena masalah perbedaan agama
tidak terjadu\i lagi di masa mendatang.
Thanks for reading: Melanggar HAM Demi Surga, Sorry, my English is bad:)