Minggu, 11 Desember 2011

Negara Semestinya Tidak Ikut Campur Urusan Beragama




Kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang paling hakiki. Beragama merupakan urusan pribadi manusia dengan Tuhannya. Dengan demikian maka sepantasnya Negara tidak mengatur masalah beragama seseorang. Setiap warga Negara berhak memilih keyakinan atau agama yang diyakininya entah itu Hindu, Islam, Kristen, Buddha, ataupun Kong Hu Chu. Menjadi seorang atheis pun semestinya tidak masalah, karena itu merupakan pilihan seorang warga Negara dalam berkeyakinan.
Ikut campurnya pemerintah dalam urusan beragama masyarakat dapat dilihat dari penentuan agama dan keyakinan yang diakui pemerintah. Hanya agama yang resmi diakui oleh pemerintah yang dapat melakukan aktivitas keagamaannya, sedangkan agama dan keyakinan yang illegal dibubarkan. Dengan disahkannya UU Pornografi oleh pemerintah, maka pemerintah juga terlihat ikut mengatur kehidupan pribadi masyarakatnya dengan membatasi mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Yang menyedihkan dalam hal ini adalah penentuan itu didasarkan atas ajaran satu kelompok keyakinan saja. Hal ini mengindikasikan lemahnya toleransi beragama masyarakat Indonesia. Agama yang mayoritas memaksakan ajarannya kepada agama minoritas.
Hal serupa juga terjadi di Bali yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Ada indikasi bahwa Hindu memaksakan umat non-Hindu untuk “melaksanakan” ritual Hindu. Hal ini dapat dilihat dari dilarangnya TV Nasional dan Radio siaran di Bali pada saat hari raya Nyepi yang lalu. Belum lagi ditutupnya jalan-jalan yang dijaga oleh para pecalang. Penentangan terhadap hal ini dapat dilihat dari status facebook Ibnu Rachal Farhansyah. Dalam statusnya ia menulis “Nyepi sepi sehari kaya tai”. Tanpa kita sadari kita sudah memaksakan umat non-Hindu untuk merayakan hari raya Nyepi.
Pro kontra terhadap hal ini cukup menarik. Beberapa kalangan berpendapat bahwa hal itu merupakan konsekwensi mereka yang tinggal di Bali. Nyepi sudah merupakan tradisi di Bali. Siapapun yang tinggal di Bali wajib ikut serta agar tidak mengganggu hikmat hari raya Nyepi. Sedangkan beberapa kalangan lain berpendapat bahwa hal itu tidak perlu. Nyepi intinya pengendalian diri sendiri. Jika kita memang serius ingin mengendalikan diri, maka sewajarnya kita tidak akan merasa terganggu. Biarkan orang lain melakukan aktivitasnya. Hal ini tidak terbatas pada Nyepi saja, melainkan di seluruh hari raya Hindu.
Pendapat pertama tersebut terasa egois dan tidak toleran terhadap umat lain. Yang menarik adalah pendapat kedua sehingga perlu kita maknai lebih dalam. Benar sekali bahwa pengendalian diri adalah salah satu hal penting dalam setiap ritual agama yang hendaknya dimulai dari diri sendiri. Pengendalian diri hanya dapat dilakukan dengan kesungguhan hati. Hendaknya kita focus mengendalikan diri terlebih dahulu sebelum kita mengajari orang lain melakukan hal yang sama. Kita tidak bisa memaksakan orang lain ikut melakukan hal tersebut.
Sesungguhnya ajaran mengenai pengendalian diri dalam setiap ritual keagamaan sudah diamanatkan oleh para leluhur kita. Pengendalian diri dalam ritual keagamaan sudah dimulai ketika kita mempersiapkan sesajen upacara. Sesajen upacara yang cukup banyak dan rumit untuk dibuat mengajarkan kita untuk belajar bersabar. Sebagai contoh kecil dalam membuat reringgitan sangat diperlukan kesabaran. Reringgitan inilah yang akan melatih kesabaran diri dan membuatnya semakin halus.
Dalam membuat sesajen tersebut kita diajarkan untuk membuatnya dengan perasaan perasaan yang bersih. Untuk itu para leluhur terdahulu kita mengajarkan kita agar mempersiapkan sesajen itu sambil menyanyi (dharma gita). Dharma gita ini akan membuat perasaan kita menjadi lebih tenang walaupun dihadapkan dengan beban kerja yang berat dalam membuat banten. Pengaturan nafas yang tepat saat berdharma gita akan mampu membuat kita menjadi lebih sabar dalam proses pembuatan sesajen.
Selain itu dalam setiap hari raya sangat ditekankan untuk melaksanakan brata.. Secara umum brata yang umumnya dilakukan yakni dengan jagra (tidak tidur), upawasa (tidak makan dan tidak minum), dan monabrata (tidak berbicara). Ketiga jenis brata ini merupakan bentuk pengendalian diri dalam suatu upacara keagamaan.
Jagra (tidak tidur) mengajarkan kepada kita untuk senantiasa waspada. Kita hendaknya senantiasa waspada terhadap segala perilaku kita agar tidak sampai menyakiti orang lain. Selain itu tidak tidur juga dapat diartikan sebagai bentuk untuk mengalahkan sifat-sifat manusia yang senantiasa malas.
Upawasa mengajarkan kita untuk mengendalikan indria terutama lidah. Sebagaimana diketahui bahwa lidah merupakan indra yang paling sulit dikendalikan.dan gerbang dari kebrobokan indra yang lainnya. Apa yang kita makan akan menentukan bagaimana karakter kita. Apabila kita makan makanan yang tamasika maka sifat kita menjadi malas dan pasif, dan apabila rajasika kita akan cenderung menjadi aktif, penuh nafsu, dan mudah marah. Berbeda halnya dengan makanan yang Satwikka yang akan mengantarkan kita kepada keluhuran buddhi dan kebijaksanaan. Makanan jenis inilah yang hendaknya kita konsumsi apabila kita menginginkan sifat-sifat kedamaian ada pada diri kita. Upawasa juga mengajarkan kita untuk senantiasa menghargai setiap anugrah dari Tuhan yang berupa makanan. Melalui puasa kita akan belajar bagaimana rasanya kelaparan dan kehausan. Dengan demikian kita akan memahami bagaimana semestinya menghargai setiap makanan yang ada.
Monabrata atau puasa tidak berbicara mengajarkan kita untuk menjadi hening. Kita hendaknya bermeditasi dan merenungkan apa-apa yang sudah kita perbuat. Seberapa banyak kita melakukan dharma? Dan sejauh mana kita sudah berjalan di jalan yang salah? Dengan duduk hening tanpa kata maka kita akan bisa menyadari keagungan dari Tuhan.
Disamping itu, ada pula bentuk pengendalian diri lain yang berupa pengurangan aktivitas dalam bentuk Catur Brata Penyepian. Catur Brata Penyepian ini mengajak kita untuk mengendalikan sikap prilaku agar tidak dipengaruhi oleh api amarah (kroda) dan loba (serakah). Kita juga ditekankan untuk mengurangi aktivitas kerja. Kita ditekankan untuk melakukan introspeksi diri mengenai kegiatan kerja yang kita lakukan dengan merenungkan apakah kerja yang kita lakukan sudah sesuai dengan dharma. Brata ini juga mengajak kita untuk mengurangi aktivitas keluar rumah dan menikmati hiburan-hiburan yang memanjakan indria. Indria-indria kita yang haus akan segala kenikmatan duniawi hendaknya dilatih terus menerus sehingga mampu untuk dikendalikan dan tidak menjadi terikat dengannya.
Pengendalian diri seperti ini hendaknya tidak hanya dilakukan pada hari raya-hari raya keagamaan saja. Pengendalian diri tersebut hendaknya diusahakan diamalkan setiap hari sehingga kita lebih mampu dalam melakukan pengendalian diri. Dengan demikian diharapkan kita menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari.

1 komentar:

  1. Om Swastiastu
    Sungguh kritis bro, saya sebagai umat Hindu memang sangat setuju dengan wacana mengenai toleransi dengan umat lain. Namun, saya merasa sebenarnya masyarakat Bali sudah TERLALU BANYAK memberi toleransi kepada umat lain. Lihat saja tempat ibadah (non Hindu), dengan mudah mereka membangun dan bertebaran hingga pelosok-pelosok desa di Bali. Belum lagi penggunaan loud speaker (5x sehari) ketika mereka beribadah. Apa kita kurang toleransi? Sampai ada bom 2x di Bali, masih kurang toleransi??? Masih kurang sabar???Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung, seharusnya itulah yang harus dipahami. Menurut saya pribadi, larangan televisi dan radio selama Nyepi sebaiknya terus dilaksanakan, toh cuma sehari. (karena selain umat non Hindu, banyak juga umat Hindu yang secara sembunyi2 melakukannya-kalo ga ada tv, ya main internet-ITU SAMA SAJA!), setidaknya mereka tidak menonton tv selama sehari dalam setahun. Dalam hari Nyepi, banyak sekali energi listrik yang dapat dihemat, demikian pula polusi kendaraan dan suara. Kalau mereka tidak suka dengan hari Nyepi di Bali, silahkan saja keluar dari Bali, jadi ga usah pakai mengumpat di Facebook segala (ini khusus buat: Ibnu Rachal Farhansyah!). Demikian buah pikiran saya, jika ada yang kurang berkenan, mari kita diskusikan bersama :) Suksma

    Naro, http://sangikankecil.blogspot.com/

    BalasHapus