Jumat, 16 Desember 2011

Adat Justru Menghancurkan Hindu




Populasi Hindu di Bali semakin menipis. Banyak umat Hindu yang sekarang ini beralih agama. Ada yang berpendapat bahwa hal tersebut disebabkan oleh peran Desa Pakraman yang semakin kehilangan taring. Desa Pakraman tidak mampu menjadi tameng bagi masuknya ajaran agama baru yang masuk ke suatu wilayah. Belakangan malah disimpulkan bahwa Hindu tidak akan mampu bertahan apabila tidak ada Desa Pakraman.
            Pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar. Memang benar bahwa organisasi yang kuat seperti Desa Pakraman dibutuhkan bagi perkembangan agama Hindu. Melalui Desa Pakraman umat dapat dibina dan ditumbuhkan kecintaannya akan agama Hindu. Namun sayang dalam prakteknya desa pakraman jusru berkutat dalam “melestarikan adat yang kaku”, tidak jarang pada hal-hal yang  sudah tidak relevan lagi dengan perubahan jaman sekarang ini. Desa Pakraman yang tetap kaku dengan adatnya malah menjadikan umat empati terhadap Desa Pakraman. Kita dapat lihat fenomena tersebut di beberapa daerah. Di daerah masih saja ada permasalahan kasta, kasepekang, rebutan setra, dan tapal batas.
            Tidak bisa dipungkiri bahwa banyaknya umat kita yang berpindah agama karena masalah kasta. Adat yang pro  system kasta di tengah kemajuan jaman sangat rentan mendapat perlawanan dari mereka yang dianggap lebih rendah. Adalah hal yang manusiawi bahwa manusia ingin dianggap lebih tinggi dari orang lain mengingat hakekat manusia yang bersifat Satyam (kebenaran), Siwam (kebajikan), dan Sundaram (keindahan). Karena hakekat tersebut maka manusia akan merasa bersalah apabila melakukan perbuatan yang melanggar nilai-nilai kebenaran dan kebajikan. Manusia juga akan merasa dilecehkan apabila ia dianggap tidak indah/rendah karena hakekat Sundaram dalam dirinya. Inilah bentuk kekeliruan dari adat dalam menerjemahkan konsep agama. Ajaran Catur Warna yang demikian bijaksana dianggap sebagai justifikasi untuk melakukan stratifikasi social secara sempit seperti yang ada dalam kasta. Ajaran Hindu yang sangat menghargai persamaan harkat dan martabat makhluk hidup terlihat tidak adil. Jika system kasta ini tetap dipertahankan dengan kaku maka jumlah umat akan terus-menerus berkurang mengingat jumlah penduduk yang digolongkan ke kasta rendah jauh lebih dominan.
            Demikian pula halnya dengan masalah kasepekang, rebutan setra dan tapal batas yang marak beberapa waktu belakangan ini yang sangat tidak manusiawi. Masalah-masalah tersebut malah menjadikan umat Hindu menjadi sangat ngeri terhadap Desa Pakramannya sendiri. Umat Hindu di Bali seolah beragama lebih karena ketakutannya terhadap adat, bukan karena Sraddha dan Bhaktinya terhadap Tuhan. Bisa saja orang yang  bersembahyang tersebut karena mereka takut terkena sangsi adat seperti kasepekang. Adat seperti ini akan menghambat orang-orang Hindu untuk maju. Bayangkan bagaimana mungkin seorang Hindu akan mempu menjadi General Manager di suatu perusahaan apabila dia juga harus rutin mengikuti sangkep-sangkep kecil di banjar yang kadang digunakan untuk minum-minum?
            Adat juga kerap menyebabkan orang menjadi berat menjadi seorang Hindu. Adat yang kaku umumnya mengharuskan orang untuk melakukan upacara-upacara yang besar. Dalam upacara Ngaben misalnya, seseorang harus mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk itu agar sesuai dengan adat setempat. Ajaran Hindu yang menyediakan berbagai pilihan dalam beryadnya seolah tak berdaya ketika sudah berhadapan dengan adat. Untuk itu tidaklah salah apabila sekarang ini banyak bermunculan crematorium sebagai salah satu solusi permasalahan adat khususnya bagi mereka yang kasepekang dan tidak mampu.
            Berbagai permasalahan adat tersebut hendaknya kita renungkan kembali untuk dicarikan solusi yang paling tepat. Melihat begitu kompleksnya permasalahan adat sekarang ini maka tentunya membuat orang Hindu berpikir kembali untuk tetap menganut Hindu. Tanpa dikonversipun banyak oang Hindu yang sudah beralih agama. Apa jadinya Hindu jika permasalahan seperti ini tetap dibiarkan terus menerus?
Untuk itu adat hendaknya mampu untuk berbenah diri. Adat hendaknya disesuaikan dengan perkembangan jaman dan nilai-nilai agama Hindu. Desa Pakraman hendaknya mampu menjadi Hindu Center di masing-masing desa seperti halnya program Pemprov Bali beberapa waktu lalu. Program tersebut hendaknya lebih diarahkan pada pembelajaran ketrampilan hidup untuk memperkuat daya saing umat Hindu dalam persaingan global berdasarkan ajaran Hindu, bukan sebaliknya dengan bermimpi kembali ke masa lalu dengan adat yang kental. Untuk mengontrol adat dapat pula ditempuh dengan menempatkan guru-guru agama Hindu dalam kepengurusan Desa Pakraman. Di desa kami yang adatnya masih kental hal ini sangat membantu. Parisada sebagai lembaga tertinggi umat juga hendaknya berperan aktif untuk menelaah dan mengkritisi adat-adat yang keliru. Lebih lanjut Parisada hendaknya aktif dalam memberikan pencerahan rohani sehingga ajaran adat dapat disesuaikan dengan ajaran Hindu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar