Senin, 12 Desember 2011

Berhati-hatilah dalam Mengucapkan Sumpah dan Kutukan


   

Tulya ninda stutir mauni samtusto yena kenacit
Aniketah sthira matir bhaktiman me priyo narah
(Bhagawadgita XII – 19)


Dia yang bisa bersikap sama terhadap hujatan maupun pujian; yang adalah diam (terkendali di dalam bicaranya), puas dengan apa saja (yang datang), yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap dan teguh di dalam pikiran, dia yang dengan demikian penuh bhakti, dia adalah yang Aku cintai.



Perkembangan zaman yang semakin modern membuat nilai-nilai agama yang selama ini diyakini kebenaran dan kesuciannya semakin memudar. Banyak tatanan moral agama yang dilanggar hanya demi kepuasan duniawi. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam namun juga oleh para ahli agama. Ahli agama yang selama ini diyakini petuah dan moralnya malah memanfaatkan ajaran agama untuk kepentingan pribadinya. Ayat-ayat suci kitab suci diputarbalikkan maknanya hanya untuk membenarkan perilaku kelirunya.
Demikian  halnya dengan sumpah yang saat ini dimaknai keliru. Sumpah yang dulu dianggap sacral, sekarang ini dianggap angin lalu saja. Sumpah sudah bersifat profan yang menjadi bagian penting ketika berbohong. Dalam perkara pengadilan tidak jarang orang yang bersumpah atas nama Tuhannya dan dengan tenang berani berkata bohong. Kejujuran dan kesetiaan akan kata-kata mungkin sudah demikian memudar. Hal ini memang tidak terlepas dari jarangnya kekeliruan akan sumpah yang diucapkan yang tidak langsung memberikan efek “sengsara” bagi mereka yang melanggarnya. Disamping itu, menipisnya keyakinan akan hukum karma menyebabkan orang dengan berani berbuat sesuka hati demi keuntungan pribadi.
Berbeda halnya dengan sumpah yang dilakukan oleh para tokoh dalam berbagai cerita Itihasa dan Purana. Sumpah dimaknai dengan sangat sacral. Bahkan mereka menganggap kebenaran tertinggi ada pada sumpah yang mereka ucapkan. Lihat saja Bisma, Panglima Kaurawa ketika Bharata Yuda yang bersumpah untuk hidup membujang (tidak menikah) sepanjang hidupnya. Demi sumpahnya ia rela untuk melawan perintah ibu dan gurunya sendiri. Padahal dalam Taitriya Upanisad dikatakan bahwa Mrtu dewa bhawa, Acarya dewa bhawa (ibu dan guru merupakan perwujudan Tuhan di dunia yang mesti di hormati dan dipatuhi perintahnya). Tidak hanya sampai di sana sumpah kesetiaanya pada Hastina Pura, kerajaannya juga membuatnya berani melawan Pandawa yang berada di pihak dharma. Sungguh demikian besar kesetiaan Bisma terhadap sumpahnya sehingga ia layak menyandang nama itu sebagai anugrah dari sumpah keramatnya. Atau lihatlah Raksasa Bali yang demikian setia akan sumpahnya  untuk memberikan tanah 3 langkah kaki pada Wamana Awatara. Konsekwensi  yang harus ia tanggung sangat berat. Karena  tetap setia pada sumpahnya ia dikutuk Sukra yang marah karena berani melawan perintahnya. Selain itu, ia bahkan harus mati karena terinjak kaki Wamana.
Di Bali, fenomena sumpah dapat kita lihat dari tradisi masesangi (berkaul). Sesungguhnya tradisi ini berawal dari adanya rasa syukur kepada Tuhan atas segala rahmat yang telah diberikan-Nya. Rasa syukur itu diwujudkan dengan membuat suatu upacara sebagai bentuk ungkapan rasa terimakasih. Namun sekarang ini tradisi ini mengalami pergeseran makna. Upacara masesangi dimaknai sebagai bentuk tawar menawar dengan Tuhan. Umat baru mau mempersembahkan sesuatu apabila ia telah memperoleh apa yang ia inginkan. Selain itu, terkadang ada pula rasa enggan untuk melaksanakan apa yang ia sumpahkan ketika keinginannya terwujud. Hal ini menyebabkan upacara nawur sesangi (membayar kaul) yang dilaksanakan kadang kala dilandasi ketidakikhlasan. Mereka melakukan upacara karena takut akan tertimpa bencana. Keiklasan yang lebih ditekankan dalam beryadnya seolah terlupakan.
Tentunya Tuhan tidaklah serendah itu. Tuhan tidak dapat disuap dengan banten atau upacara apapun. Kalau ia berkenan apapun bisa  ia miliki. Sesungguhnya persembahan yang kita haturkan tidaklah bernilai besar apabila dibandingkan dengan segala kepemilikan dan kuasa Tuhan. Upacara yang diamanatkan dalam kitab suci sesungguhnya merupakan sebuah latihan bhakti kepada Tuhan. Dengan mempersembahkan sesuatu maka rasa bhakti kita terhadap Tuhan dapat tumbuh dan terjaga. Kita akan senantiasa tetap mengingat kebesaranNya (Smaranam). Smaranam merupakan cara yang paling sederhana dalam memuja Tuhan dalam jalan bhakti . Jenis bhakti ini akan mampu mengantarkan kita mencapai kebebasan dari ikatan samsara.
                  Adalah hal yang bodoh pula apabila kita meminta hal-hal sepele berupa harta, tahta, maupun hal-hal duniawi yang lain kepada Tuhan. Permintaan-permintaan seperti ini tentu hal yang remeh bagi Tuhan yang Maha Kuasa. Seorang bhakta yang sejati hendaknya memohon hal-hal yang lebih besar yang bersikap kekal. Kita hendaknya meminta Tuhan itu sendiri seperti halnya yang dilakukan oleh Prahlada ketika ditanya berkah apa yang ia inginkan kepada Narayana. Dengan meminta Beliau sendiri maka kita akan mampu menyadari bahwa hal-hal duniawi merupakan kerikil-kerikil penganggu yang menghalangi perjalanan spiritual kita. Untuk apa kita memohon sesuatu yang sesungguhnya akan merusak kita pada akhirnya? Selain itu dengan meminta Beliau langsung maka segala hal yang kita perlukan juga akan kita dapatkan, tanpa adanya rasa keterikatan terhadap hal itu.
                  Dengan kesetiaan pada sumpah yang kita ucapkan maka segala hal yang kita  perlukan akan dapat kita peroleh. Kekuatan dari keteguhan orang yang setia kepada sumpahnya sungguh sangat besar. Hal ini dapat kita lihat dari Gandhari, ibu dari para Kaurawa. Dengan sumpah patiwrata (kesetiaan kepada suami) dan bhaktinya yang demikian besar pada Siwa ia memperoleh kekuatan rohani yang demikian besar. Kata-kata yang ia ucapkan akan menjadi kenyataan. Kemarahan dan kutukannya bahkan ditakuti oleh Krsna dan Pandawa.  Karena kutukannyalah bangsa Vrsni musnah dari muka buni.
                  Contoh lain dari orang yang mempunyai kutukan yang demikian hebat adalah Yudistira, Pandawa tertua. Sepanjang hidupnya ia hanya berbohong satu kali saja, itupun dengan tujuan yang mulia yakni untuk menyelamatkan pasukannya dari kekejaman Drona. Ia berbohong dengan mengatakan bahwa Aswatama telah meninggal, sehingga menjadikan Drona kehilangan semangat dalam berperang. Berkat keteguhan hati dan dharma yang selalu ia jungjung tinggi itu, maka  kata-katanya menjadi sangat bertuah. Diceritakan bahwa ia mengutuk Kunti dan para wanita agar sejak saat  itu para wanita tidak dapat menyimpan rahasianya dalam jangka waktu yang lama. Kutukan ini diucapkannya karena Kunti telah membohonginya demikian lama tentang kelahiran Karna sehingga ia mesti berperang dan membunuh kakaknya Karna dalam ketidaktahuan. Demikian hebat kutukan itu sehingga sekarang ini sangat sulit kita temukan orang yang mampu menyimpang rahasia dalam waktu yang lama.
                  Kekuatan rohani seperti ini dapat kita lihat dari para guru-guru suci sekarang ini. Kata-kata yang ia ucapkan akan menjadi kenyataan berkat latihan spiritual yang ia jalani. Contoh yang gampang diamati adalah pada praktisi Transcendental  Meditation (TM). Seorang praktisi TM di tingkat siddha dengan rajinnya bermeditasi maka ia akan mampu mencapai tingkat kesadaran keempat yakni Tutiya. Di tingkat kesadaran ini kata-kata seorang siddha TM akan menjadi kenyataan. Apapun yang ia pikirkan akan menjadi kenyataan. Inilah berkah suci dari disiplin rohani.
                  Untuk itu, marilah kita berhati-hati dalam mengucapkan sumpah maupun kutukan. Belajarlah dari Bhisma yang hidupnya demikian menderita akibat sumpah membujangnya. Lihat pula kejatuhan spiritual dari Rsi Wiswamitra yang berkali-kali gagal dalam spiritual karena ia begitu mudah marah dan mengutuk orang lain. Kendalikanlah diri dan pikirkanlah matang-matang terlebih dahulu kata-kata yang akan kita ucapkan. Pikirkanlah bahwa kata-kata yang kita ucapkan tidak akan bisa ditarik kembali seperti halnya anak panah yang sudah lepas dari busurnya. Jangan sampai kata-kata yang keluar dari mulut kita adalah kata-kata yang dapat menyakiti hati orang lain ataupun berupa sumpah yang sulit untuk ditepati. Sesungguhnya kendali dalam berucap sangat mendukung kemajuan spiritual yang kita tekuni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar