Minggu, 18 Desember 2011

Konflik Beragama: Perlukah Indonesia Menjadi Negara Sekuler?




Hari Lahir  Pancasila tahun ini harus dikenang dengan pahit. Betapa tidak hari  dimana Pancasila lahir malah ternoda oleh perilaku kekerasan yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) kepada Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan(AKKBB) yang melakukan aksi damai di silang Monas. FPI mengklaim AKKBB melakukan tindakan penghinaan terhadap organisasinya. Secara khusus penyebab insiden ini yaitu FPI menuding AKKBB menginginkan kebebasan berkeyakinan bagi masyarakat Indonesia khususnya bagi Ahmadiyah, sebuah aliran baru dari agama Islam yang mempunyai ajaran tersendiri.FPI menuding AKKBB pro-Ahmadiyah yang   dianggapnya sesat dan menodai ajaran Islam.
Aksi tersebut mendapat kecaman dari berbagai element bangsa bahkan dari umat Islam sendiri. Masyarakat menuntut agar FPI segera dibubarkan.Di daerah-daerah bahkan dilakukan tindakan sweeping terhadap anggota FPI. Kalau kita cerdas berpikir maka tentunya kita akan bertanya-tanya tidakkah ada kebebasan dalam hidup beragama sampai sebuah keyakinan seperti Ahmadiyah harus dilarang? Tidakkah pemerintah malah melakukan pelanggaran HAM berat dengan melarang seseorang menganut keyakinan tertentu yang notabene merupakan hak asasi yang paling hakiki?
Mungkin masih segar dalam ingatan kita  semua akan aksi pro kontra terhadap pornoaksi dan pornografi beberapa tahun yang lalu. Inilah salah satu bentuk  intoleransi terhadap keyakinan orang lain. Suatu kelompok memaksakan pemahamannya terhadap pornoaksi dan pornografi dari sudut pandangnya sendiri tanpa melihat orang lain mempunyai pemahaman yang berbeda tentang hal tersebut. Pemerintah juga dituntut untuk segera mengesahkan RUU APP itu menjadi UU. Kalau itu terjadi tidakkah pemerintah membatasi warganya dalam berkeyakinan? Adanya pihak yang pro dan kontra tidak jarang menimbulkan aksi anarkis terhadap kelompok lainnya. Hal tersebut terkadang membuat kita bertanya-tanya kembali :mengapa agama malah menjadi sumber konflik?  Kalau demikian tidakkah sebaiknya Indonesia menjadi negara sekuler saja?
Pancasila sebagai idiologi bangsa sebenarnya sudah mengamanatkan hal ini. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidaklah berarti Indonesia tidak boleh menjadi negara sekuler. Sila  pertama Pancasila tersebut mengisyaratkan kepada kita agar menghormati keyakinan agama lain.. Tetapi dengan sistem pemerintahan sekarang ini, sangatlah sulit dalam membentuk toleransi antarwarga. Kendali pemerintahan ternyata tidak adil dimana orang-orang pemerintahan kebanyakan diisi oleh orang dari agama mayoritas. Hal ini berakibat kebijakan pemerintah menjadi berat sebelah. Kelompok minoritas kerap kali terpinggirkan sedangkan kelompok mayoritas semakin berani bertindak sewenang-wenang. Pemerintah juga menjadi tidak tegas dalam menindak aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok mayoritas.Contoh nyatanya dapat kita lihat dari perusakan Pura Sangkarehyang beberapa waktu lalu. Pemerintah terkesan lambat dan yang lebih memprihatinkan media juga seperti membisu melihat aksi ini.
Pembentukan negara sekuler juga mampu meningkatkan efisiensi pemerintah. Pemerintah tidak perlu lagi membentuk Departemen Agama. Bayangkan berapa rupiah yang dapat dihemat dari hal ini. Beberapa tahun yang lalu bahkan ada indikasi bahwa Departemen Agama  adalah departemen terkorup di negeri ini. Alangkah bagusnya dana keagaamaan yang besar seperti itu dapat dialokasikan kepada sektor pendidikan. Dana itu akan mampu membantu pembenahan pendidikan di negeri ini yang buruk. Melalui pendidikan ini juga dapat dilakukan pembenahan terhadap mentalitas generasi muda dengan menekankan pentingnya toleransi dalam kehidupan. Hal ini dapat dilakukan melalui pelajaran tertentu misalnya saja pendidikan Pancasila seperti yang sudah ada.
Kita dapat belajar dari India yang notabene merupakan negara sekuler. Di sana warganya bebas beribadat sesuai dengan keyakinannya. Tidak ada yang akan mempermasalahkan kalau seorang yogi disana melakukan ritual dengan telanjang. Dan kita lihat konflik di India tidaklah separah di negeri ini. Yang lebih penting lagi pendidikan mereka  berkembang dengan baik dimana outputnya diakui secara internasional.
Dengan benruk negara sekuler, maka pemerintah tidak akan saling lempar tangung jawab terhadap permasalahan keumatan. Dalam kasus  FPI saja pemerintah juga kebingungan dalam menentukan sikap terhadap FPI apakah yang berwenang Kementrian Hukum dan HAM atau dari Kementrian Dalam Negeri. Kepolisisan juga menjadi takut mengambil tindakan yang tegas. Dengan bentuk negara sekuler maka kepolisian  dapat bertindak lebih tegas karena masalah keamanan akan sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya.
Tentunya opsi ini adalah opsi terakhir yang harus dikaji kembali. Jika negara masih gagal dalam menjamin kebebasan rakyatnya dalam beribadat sesuai dengan ajaran agamanya dan tidak mampu membentuk  toleransi beragama antarwarganya maka opsi ini hendakya dapat dipikirkan untuk diterapkan. Hidup berbangsa yang multikultur dengan rukun tanpa adanya toleransi adalah hal yang mustahil. Ini hanya akan menyuburkan konflik antarwarga dan bahkan akan mengancam persatuan bangsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar