Minggu, 18 Desember 2011

Kesatuan Statement dalam Mengatasi Pelecehan Hindu




Hindu adalah agama yang fleksible dan toleran. Kesan tersebut dapat dilihat dari karakter umatnya di seluruh dunia.  Di berbagai belahan dunia, umat Hindu mampu hidup berdampingan dengan damai dengan umat lain. Sedangkan di daerah-derah konflik di tanah air seperti Ambon, Poso, dan sebagainya umat Hindu tidak hanya mampu hidup berdampingan tetapi juga mampu sebagai “kakak” dalam menengahi konflik “adik-adiknya”. Bali sebagai basis Hindu di Indonesia juga  terkenal sebagai daerah paling toleran di tanah air. Hal ini dapat dilihat dari maraknya kegiatan keagamaan dari umat lain berskala nasional sering dilaksanakan di Bali. Begitu pula halnya ketika umat  Hindu di Bali mengalami rongrongan dari para misionaris mereka tetap saja diam. Tentunya reaksi dari warga setempat akan berbeda apabila itu terjadi di tempat lain. Tapi apakah kita akan tetap diam saja seperti itu?
Kita tidak boleh diam terus menerus. Kita harus mampu meluruskan pandangan dan tafsir keliru tentang Hindu. Sebagai agama yang minoritas Hindu kerap kali dilecehkan terutama dengan hal yang bersinggungan dengan seni. Kita dapat lihat dari film Angling Dharma yang pernah membelokkan cerita Angling Dharma sehingga Hindu terkesan sebagai agama yang lebih rendah dari agama tertentu. Begitu pula halnya dengan karya seni berupa tato dan gambar yang mengambil symbol-simbol sakral Hindu yang tidak diletakkan pada tempat yang semestinya. Karya seni terakhir yang dirasakan melecehkan agama Hindu adalah film Drupadi yang diproduseri dan dibintangi langsung oleh Dian Sastro. Film ini dinilai merendahkan karakter Drupadi dalam Mahabharata. Film ini secara tidak langsung megagambarkan bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai salah satu dampak dari reformasi tampaknya sudah menjadi sangat kebablasan di negeri ini.
Harus disadari bahwa ini merupakan plus minus dari fleksibilitas Hindu. Di satu sisi fleksibilitas Hindu berdampak baik sehingga ajaran-ajarannya dapat disesuaikan dengan perkembangan jaman dan tempat dimana ajaran Hindu itu tumbuh dan berkembang. Hindu tidaklah bersifat kaku dimana apa yang terdapat dalam kitab suci harus mutlak diwujudkan seperti itu. Hindu fleksible, dimana dalam tatacara dapat disesuaikan dengan tempat, waktu, dan keadaaan. Fleksibilitas Hindu juga terletak pada adanya kebebasan dalam menafsirkan ajaran-ajaran Hindu sesuai dengan norma dan tidak menyimpang dari ajaran pokoknya. Kebebasan dalam menafsirkan kerap kali berdampak negatif dimana ajaran Hindu ajaran-ajaran Hindu disalahtafsirkan. Tafsir-tafsir yang dikemukakan bertentangan dengan maksud dari ajaran Hindu yang sebenarnya. Tentunya hal ini  akan merusak ajaran agama Hindu pada khususnya dan citra Hindu pada umumnya.
Kesalahan tafsir ini tidak hanya terjadi pada orang lain yang menilai Hindu tetapi juga dari intern Hindu. Salah tafsir dari ekstern Hindu tersebut itulah yang kemungkinan besar meyebabkan munculnya berbagai karya yang terkesan melecehkan Hindu. Kita hendaknya bersikap arif dengan tidak hanya menyalahkan pihak-pihak yang salah tafsir atas kejadian tersebut. Sebagian dari kesalahan tersebut juga terdapat dalam diri kita sebagai umat Hindu. Kita belum mampu mempelajari ajaran agama Hindu secara komprehensif sehingga mampu menjelaskan kepada orang lain bagaimana Hindu yang sesungguhnya. Bahkan dari intern Hindu saja masih terjadi perbedaan tafsir.
Hal inilah yang semestinya menjadi perhatian  kita bersama. Kita hendaknya tidak terburu-buru dalam menyatakan sikap terhadap permasalahan keumatan. Khusus pada kasus-kasus yang berunsur pelecehan terhadap Hindu, hendaknya kita melakukan koordinasi terlebih dahulu sehingga nantinya tidak ada statement ganda dari Hindu sendiri. Misalnya dalam kasus lagu Iwan Fals timbul dua statement. Satu pihak ada yang membenarkan dan pihak yang lain malah memprotes. Ini akan menjadi hal yang sangat lucu di masyarakat. Hindu hendaknya mempunyai kesatuan tafsir terhadap ajarannya. Hal ini juga penting sehingga tidak menimbulkan kebingungan umat. Parisada sebagai lembaga tertinggi Hindu hendaknya lebih tanggap dalam mengatasi permasalahan seperti ini.
Parisada harus mampu memberikan kontrol terhadap tafsir akan ajaran-ajaran Hindu. Itihasa dan Purana yang kerap kali mengalami salah tafsir hendaknya ditelaah kembali sehinga mampu dicapai kesatuan tafsir dengan berpedoman pada teks-teks sumber. Kesatuan tafsir tersebut kemudian hendaknya dipublikasikan kepada publik  sehingga umat tidak kebingungan lagi terhadap ajaran Hindu. Dalam perumusan tafsir akan ajaran-ajaran Hindu hendaknya ego pribadi dikesampingkan terlebih dahulu. Secara intern kita boleh saling bermusuhan, tetapi ketika kita berbicara tentang Hindu  kita adalah satu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar