Rabu, 14 Desember 2011

Indahnya Memberi




Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat lepas dari kehidupan masyarakat di sekitarnya. Manusia dituntut untuk dapat berinteraksi dengan makhluk lainnya. Dalam pergaulan sehari-hari tersebut seorang Pemeditasi Angka diharapkan dapat menjadi teladan bagi warga sekitarnya.
Salah satu keteladanan yang dapat kita ajarkan adalah teladan dalam memberi. Sebagian orang mungkin mengira bahwa menerima lebih baik dari memberi. Ketika mendapat hadiah seorang akan sangat senang, tetapi ketika semestinya memberikan sesuatu kita  akan enggan untuk melakukannya. Contoh kecil yang dapat diamati yakni ketika seseorang ulang tahun. Dengan ceria orang akan menyambut hari itu berharap akan datangnya kado. Tetapi hal sebaliknya akan terjadi ketika temannya ulang tahun. Mereka akan merasa tertekan untuk memberi temannya hadiah, walaupun sebetulnya dia tiak menginginkan sama sekali.
Percayalah bahwa memberi lebih menyenangkan daripada menerima. Pemberian yang tulus kepada orang yang benar-benar memerlukan sangat menyenangkan. Pemberian tidak mesti berupa materi. Menjadi pemberi tidak semestinya menunggu kita kaya terlebih dahulu. Pemberian dapat berupa bentuk-bentuk yang lain dengan ”harta” sederhana. Memberi senyum, menyampaikan salam, mengucapkan terimakasih juga merupakan pemberian. Sekilas mungkin akan terasa simple tetapi ini sesungguhnya sangat berarti. Ucapan-ucapan sederhana seperti itu akan membuat orang merasa dihargai. Sudah menjadi sifat alamiah manusia akan senang apabila merasa dihargai. Mereka juga akan merasa senang karena merasa diperhaikan.. Bayangkan berapa jiwa orang yang kita bisa senangkan dengan hal kecil macam ini. Betapa indahnya dunia ketika penghuni-penghuninya merasa disenangkan tiap harinya. Vibrasi kedamaian ini diharapkan mampu mereduksi ketidakdamaian dalam hidup akibat peperangan, terorisme, tingginya kriminalitas, dan sebagainya.
Mereka yang senang tentu akan membalas hal serupa. Bayangkan apabila tiap menit orang-orang akan melakukan hal serupa pada kita. Hidup kita akan penuh dengan kebahagiaan. Dengan pemberian kecil ternyata hidup kita menjadi lebih hidup.
Kita hendaknya mampu memberikan contoh kepada sesama untuk senantiasa menjadi pemberi. Mulailah dari keluarga di rumah.  Teman sekolah atau kantor dan akhirnya pada masyarakat umum.  Jelaskan pula indahnya memberi seperti itu kepada orang di sekitar kita.
Pemberian ini kemudian dapat kita tingkatkan kepada hal-hal lain. Mulai sekarang marilah kita aktif sebagai anggota pendonor darah, menjadi orang tua asuh, dan sejenisnya. Janganlah takut dengan menjadi pendonor kita akan menjadi sakit-sakitan, ataupun miskin ketika menjadi orang tua asuh. Tuhan Yang Maha Pengasih tentu akan melindungi kita. Kesehatan dan kekayaan kita akan dijaga. Ketika Tuhan sudah menjaminnya, apa yang perlu kita ragukan lagi? Mari kita praktekkan dan lihat apa yang akan terjadi.

Read More >>

Prasadam Adalah Anugrah Bukan Sampah




yajna-sistamrta-bhujo
yanti brahma sanatanam
nayam loko sty ayajnasya
kuto nah kuru-sattama

Mereka yang makan sisa persembahan,
Sebagai amrta, mencapai Brahman yang kekal abadi,
Dunia ini bukan bagi yang tidak beryadnya
Apa pula dunia yang lain, wahai Arjuna
(Bhagawadgita IV-31)

Masalah lingkungan merupakan isu yang sedang mengemuka  saat ini. Lingkungan yang rusak merupakan salah satu penyebab utama bencana alam di dunia. Semakin bertambahnya polutan yang tidak disertai dengan upaya pencegahan yang maksimal menyebabkan alam sangat cepat rusak. Bahkan yang paling dikhawatirkan kerusakan memuncak dengan  berubahnya iklim di seluruh belahan dunia.
Sumber polutan ternyata tidak hanya dati kalangan industri, namun juga dari rumah tangga. Aktivitas yadnya pun ikut memberi andil rusaknya lingkungan. Sisa-sisa upakara baik itu dalam skala rumah tangga ataupun dalam skala besar seperti Panca Bali Krama dibuang seenaknya seperti sampah. Tidakkah ’sampah’ tersebut sesungguhnya adalah prasadam atau surudan?
Ini sesungguhnya merupakan bentuk tidak hormat kita pada Tuhan yang kita beri persembahan. Kita memuji-muji Beliau dan mempersembahkan sesajen. Tetapi setelah sesajen itu menjadi prasadam kita malah membuangnya. Ini tentu keliru. Prasadam hendaknya dinikmati sampai habis oleh semua makhluk, baik itu manusia mupun hewan dan tumbuhan. Jangan perlakukan prasadam sebagai sampah yang harus dibuang yang pada gilirannya malah mengotori lingkungan.
Dalam hal ini kita patut mencontoh sikap teman saya. Sebelum makan dia selalu berdoa : Om brahmar panam brahma havir brahmagnau  brahmanahutam, brahma iva tena gantavyam brahma-karma-samadhina. Aham vaisvanaro bhutva praninam deham asritah, pranapana samayuktah pacamy annam catur-idham (Bhagavadgita IV-24 dan XV-14). Arti dari mantra tersebut yakni Brahman adalah persembahan itu, Brahman adalah mentega, yang dipersembahkan pada api Brahman, hanya kepada Brahmanlah ia yang mengetahui Brahman menghadap dalam kegiatan kerjanya (BG IV-24), setelah menjadi api dari badan makhluk hidup dan bersatu dengan keluar masuknya pernafasan, Aku cernakan empat jenis makanan itu (BG XV-14). Melalui mantra tersebut dia meyakini bahwa Tuhan adalah sumber dari semuanya termasuk makanan yang akan dia makan. Dia meyakini bahwa makanan itu adalah anugrah dari Tuhan. Karena itulah ketika dia makan dia tidak akan menyisakan walaupun itu hanya sebutir nasi. Baginya tidaklah benar menyianyiakan anugrah apalagi sampai membuangnya.
Dalam sistem filsafat Vira Saiva, diuraikan mengenai keutamaan dari prasadam. Jiwa orang yang mendapat prasadam akan tercerahkan. Perlahan orang yang sering menikmati prasadam akan mengetahui bahwa dia sesungguhnya adalah jiwa, bukan badan. Jiwa kemudian akan melakukan penyerahan diri secara total kepada Tuhan (bhakti). Dan dari bhakti tersebut jiwa akan mencapai kesatuan yang utuh dengan Tuhan. Pada tahap ini tidak akan ada lagi perbedaan antara jiwa dan Siwa (Aikyastala).
Untuk mencegah banyaknya limbah yang dihasilkan dari sisa upacara maka penyederhanaan sesajen sangat diperlukan. Dengan sederhananya banten maka sisa upakara yang dihasilkan menjadi lebih sedikit. Selain itu banten yang sederhana umumnya dibuat dalam waktu yang lebih sedikit sehingga lebih awet dibandingkan banten yang banyak. Dengan demikian sisa upakaranya masih dapat dinikmati.
Kita dapat mencontoh Meditasi Angka dalam hal ini. Di Meditasi Angka  banten yang dipergunakan sebagai sarana upakara adalah banten yang relatif sederhana tanpa mengurangi maknanya. Prasadamnya pun selalu habis dinikmati oleh para peserta meditasi dan tamu yang datang. Ini disebabkan mereka meyakini bahwa prasadam itu merupakan anugrah dari Dhunaguru (Tuhan Yang Maha Esa) yang penuh berkah. Demikian pula dengan abu hasil pembakaran di Akhanda Dhuna (sejenis khunda) yang dimanfaatkan dengan maksimal sebagai vibhuti. Vibhuti ini tidak pernah dibuang. Apabila  khunda penuh maka abunya diangkat dan disimpan. Beberapa orang mempergunakan untuk terapi untuk suatu penyakit, ada yang mempergunakannya sebagai penetralizir sifat-sifat negatif di lingkungannya, dan beberapa manfaat lainnya. Demikian pula dengan sisa upakara baik iu yang berupa canang atau sesajen lainnya. Sisa persembahan itu dipilah antara yang organik dan yang anorganik untuk kemudian diproses lebih lanjut sehingga ramah  lingkungan. Dengan begitu baik mikroorganisme maupun tumbuhan dapat ikut serta menikmati prasadam tersebut.
Demikian beberapa pemikiran dalam pengolahan sisa upakara yang perlu kita perhatikan. Pemikiran-pemikiran tersebut hendaknya kita dapat amalkan, sehingga konsep Tri Hita Karana yang kita pedomani tidak hanya sebatas wacana.
Read More >>

Senin, 12 Desember 2011

Berhati-hatilah dalam Mengucapkan Sumpah dan Kutukan


   

Tulya ninda stutir mauni samtusto yena kenacit
Aniketah sthira matir bhaktiman me priyo narah
(Bhagawadgita XII – 19)


Dia yang bisa bersikap sama terhadap hujatan maupun pujian; yang adalah diam (terkendali di dalam bicaranya), puas dengan apa saja (yang datang), yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap dan teguh di dalam pikiran, dia yang dengan demikian penuh bhakti, dia adalah yang Aku cintai.



Perkembangan zaman yang semakin modern membuat nilai-nilai agama yang selama ini diyakini kebenaran dan kesuciannya semakin memudar. Banyak tatanan moral agama yang dilanggar hanya demi kepuasan duniawi. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam namun juga oleh para ahli agama. Ahli agama yang selama ini diyakini petuah dan moralnya malah memanfaatkan ajaran agama untuk kepentingan pribadinya. Ayat-ayat suci kitab suci diputarbalikkan maknanya hanya untuk membenarkan perilaku kelirunya.
Demikian  halnya dengan sumpah yang saat ini dimaknai keliru. Sumpah yang dulu dianggap sacral, sekarang ini dianggap angin lalu saja. Sumpah sudah bersifat profan yang menjadi bagian penting ketika berbohong. Dalam perkara pengadilan tidak jarang orang yang bersumpah atas nama Tuhannya dan dengan tenang berani berkata bohong. Kejujuran dan kesetiaan akan kata-kata mungkin sudah demikian memudar. Hal ini memang tidak terlepas dari jarangnya kekeliruan akan sumpah yang diucapkan yang tidak langsung memberikan efek “sengsara” bagi mereka yang melanggarnya. Disamping itu, menipisnya keyakinan akan hukum karma menyebabkan orang dengan berani berbuat sesuka hati demi keuntungan pribadi.
Berbeda halnya dengan sumpah yang dilakukan oleh para tokoh dalam berbagai cerita Itihasa dan Purana. Sumpah dimaknai dengan sangat sacral. Bahkan mereka menganggap kebenaran tertinggi ada pada sumpah yang mereka ucapkan. Lihat saja Bisma, Panglima Kaurawa ketika Bharata Yuda yang bersumpah untuk hidup membujang (tidak menikah) sepanjang hidupnya. Demi sumpahnya ia rela untuk melawan perintah ibu dan gurunya sendiri. Padahal dalam Taitriya Upanisad dikatakan bahwa Mrtu dewa bhawa, Acarya dewa bhawa (ibu dan guru merupakan perwujudan Tuhan di dunia yang mesti di hormati dan dipatuhi perintahnya). Tidak hanya sampai di sana sumpah kesetiaanya pada Hastina Pura, kerajaannya juga membuatnya berani melawan Pandawa yang berada di pihak dharma. Sungguh demikian besar kesetiaan Bisma terhadap sumpahnya sehingga ia layak menyandang nama itu sebagai anugrah dari sumpah keramatnya. Atau lihatlah Raksasa Bali yang demikian setia akan sumpahnya  untuk memberikan tanah 3 langkah kaki pada Wamana Awatara. Konsekwensi  yang harus ia tanggung sangat berat. Karena  tetap setia pada sumpahnya ia dikutuk Sukra yang marah karena berani melawan perintahnya. Selain itu, ia bahkan harus mati karena terinjak kaki Wamana.
Di Bali, fenomena sumpah dapat kita lihat dari tradisi masesangi (berkaul). Sesungguhnya tradisi ini berawal dari adanya rasa syukur kepada Tuhan atas segala rahmat yang telah diberikan-Nya. Rasa syukur itu diwujudkan dengan membuat suatu upacara sebagai bentuk ungkapan rasa terimakasih. Namun sekarang ini tradisi ini mengalami pergeseran makna. Upacara masesangi dimaknai sebagai bentuk tawar menawar dengan Tuhan. Umat baru mau mempersembahkan sesuatu apabila ia telah memperoleh apa yang ia inginkan. Selain itu, terkadang ada pula rasa enggan untuk melaksanakan apa yang ia sumpahkan ketika keinginannya terwujud. Hal ini menyebabkan upacara nawur sesangi (membayar kaul) yang dilaksanakan kadang kala dilandasi ketidakikhlasan. Mereka melakukan upacara karena takut akan tertimpa bencana. Keiklasan yang lebih ditekankan dalam beryadnya seolah terlupakan.
Tentunya Tuhan tidaklah serendah itu. Tuhan tidak dapat disuap dengan banten atau upacara apapun. Kalau ia berkenan apapun bisa  ia miliki. Sesungguhnya persembahan yang kita haturkan tidaklah bernilai besar apabila dibandingkan dengan segala kepemilikan dan kuasa Tuhan. Upacara yang diamanatkan dalam kitab suci sesungguhnya merupakan sebuah latihan bhakti kepada Tuhan. Dengan mempersembahkan sesuatu maka rasa bhakti kita terhadap Tuhan dapat tumbuh dan terjaga. Kita akan senantiasa tetap mengingat kebesaranNya (Smaranam). Smaranam merupakan cara yang paling sederhana dalam memuja Tuhan dalam jalan bhakti . Jenis bhakti ini akan mampu mengantarkan kita mencapai kebebasan dari ikatan samsara.
                  Adalah hal yang bodoh pula apabila kita meminta hal-hal sepele berupa harta, tahta, maupun hal-hal duniawi yang lain kepada Tuhan. Permintaan-permintaan seperti ini tentu hal yang remeh bagi Tuhan yang Maha Kuasa. Seorang bhakta yang sejati hendaknya memohon hal-hal yang lebih besar yang bersikap kekal. Kita hendaknya meminta Tuhan itu sendiri seperti halnya yang dilakukan oleh Prahlada ketika ditanya berkah apa yang ia inginkan kepada Narayana. Dengan meminta Beliau sendiri maka kita akan mampu menyadari bahwa hal-hal duniawi merupakan kerikil-kerikil penganggu yang menghalangi perjalanan spiritual kita. Untuk apa kita memohon sesuatu yang sesungguhnya akan merusak kita pada akhirnya? Selain itu dengan meminta Beliau langsung maka segala hal yang kita perlukan juga akan kita dapatkan, tanpa adanya rasa keterikatan terhadap hal itu.
                  Dengan kesetiaan pada sumpah yang kita ucapkan maka segala hal yang kita  perlukan akan dapat kita peroleh. Kekuatan dari keteguhan orang yang setia kepada sumpahnya sungguh sangat besar. Hal ini dapat kita lihat dari Gandhari, ibu dari para Kaurawa. Dengan sumpah patiwrata (kesetiaan kepada suami) dan bhaktinya yang demikian besar pada Siwa ia memperoleh kekuatan rohani yang demikian besar. Kata-kata yang ia ucapkan akan menjadi kenyataan. Kemarahan dan kutukannya bahkan ditakuti oleh Krsna dan Pandawa.  Karena kutukannyalah bangsa Vrsni musnah dari muka buni.
                  Contoh lain dari orang yang mempunyai kutukan yang demikian hebat adalah Yudistira, Pandawa tertua. Sepanjang hidupnya ia hanya berbohong satu kali saja, itupun dengan tujuan yang mulia yakni untuk menyelamatkan pasukannya dari kekejaman Drona. Ia berbohong dengan mengatakan bahwa Aswatama telah meninggal, sehingga menjadikan Drona kehilangan semangat dalam berperang. Berkat keteguhan hati dan dharma yang selalu ia jungjung tinggi itu, maka  kata-katanya menjadi sangat bertuah. Diceritakan bahwa ia mengutuk Kunti dan para wanita agar sejak saat  itu para wanita tidak dapat menyimpan rahasianya dalam jangka waktu yang lama. Kutukan ini diucapkannya karena Kunti telah membohonginya demikian lama tentang kelahiran Karna sehingga ia mesti berperang dan membunuh kakaknya Karna dalam ketidaktahuan. Demikian hebat kutukan itu sehingga sekarang ini sangat sulit kita temukan orang yang mampu menyimpang rahasia dalam waktu yang lama.
                  Kekuatan rohani seperti ini dapat kita lihat dari para guru-guru suci sekarang ini. Kata-kata yang ia ucapkan akan menjadi kenyataan berkat latihan spiritual yang ia jalani. Contoh yang gampang diamati adalah pada praktisi Transcendental  Meditation (TM). Seorang praktisi TM di tingkat siddha dengan rajinnya bermeditasi maka ia akan mampu mencapai tingkat kesadaran keempat yakni Tutiya. Di tingkat kesadaran ini kata-kata seorang siddha TM akan menjadi kenyataan. Apapun yang ia pikirkan akan menjadi kenyataan. Inilah berkah suci dari disiplin rohani.
                  Untuk itu, marilah kita berhati-hati dalam mengucapkan sumpah maupun kutukan. Belajarlah dari Bhisma yang hidupnya demikian menderita akibat sumpah membujangnya. Lihat pula kejatuhan spiritual dari Rsi Wiswamitra yang berkali-kali gagal dalam spiritual karena ia begitu mudah marah dan mengutuk orang lain. Kendalikanlah diri dan pikirkanlah matang-matang terlebih dahulu kata-kata yang akan kita ucapkan. Pikirkanlah bahwa kata-kata yang kita ucapkan tidak akan bisa ditarik kembali seperti halnya anak panah yang sudah lepas dari busurnya. Jangan sampai kata-kata yang keluar dari mulut kita adalah kata-kata yang dapat menyakiti hati orang lain ataupun berupa sumpah yang sulit untuk ditepati. Sesungguhnya kendali dalam berucap sangat mendukung kemajuan spiritual yang kita tekuni.
Read More >>

KETELADANAN SEBENTUK LUMUT


Suatu kali ty tertegun melihat sebentuk lumut hidup sendirian di antara 2 celah batu bata di tembok pagar rumah saya. Rasa prihatin akan hidupnya yg terasing sendiri membuat ty enggan mengusiknya dari habitatnya itu. Ty biarkan gy hidup tenang di tembok itu walau dy seakan nila setitik di tengah belanga susu yg putih. Beberapa minggu kemudian ty sedikit kaget melihat beberapa tumbuhan baru mulai tumbuh
di sekitar lumut tadi. Tembok yg dulunya kering mulai ditumbuhi ttumbuhan2 liar yg dari hari kehari makin banyak.

Sungguh sangat indah apabila kita merenungkan secara mendalam cerita tersebut. Lumut yang mengganggu dengan tabah hidup sendiri di daerah tandus. Dy tidak hanya tegar bertahan hidup tetapi bahkan mampu merintis kehidupan yang baru di daerah yang tidak dapat dijamah kehidupan.Pegunungan yang tandus menjadi hutan yang sejuk. Pulau yang baru terbentuk nan gersang menjadi hunian beribu kehidupan berkatnya.

Sebagian orang mungkin mengklaim bahwa dy tumbuhan pengganggu, tapi lihatlah kenyataan bahwa begitu banyak pujian akan datang padanya dari orang2 yg dapat hidup karenanya. Semoga kita dapat mencontoh keteladannya
Read More >>

Pemimpin Berwawasan Nitisastra



Wahai pemimpin negara, datanglah dengan cahaya, lindungilah rakyat dengan penuh kehormatan, hadirlah sebagai pemimpin yang utama, seluruh penjuru mamanggil dan memohon perlindunganmu, raihlah kehormatan dan pujian dalam negara ini
(Atharva Veda: 3.4.1)
Pemimpin adalah tokoh yang sangat dibutuhkan dalam sebuah kelompok. Demikian pula halnya dengan seorang kepala daerah di suatu kabupaten\kota, peran pemimpin sangat dibutuhkan. Kemajuan suatu daerah sangat ditentukan oleh pemimpin tersebut. Pemimpin yang berwawasan luas, kreatif, inovatif, dan berbagai sifat-sifat utama lain dapat menjadikan suatu daerah berkembang lebih baik daripada daerah yang lain. Sebaliknya pemimpin yang korup, egois, berwawasan sempit akan mengantarkan suatu daerah ke dalam keterpurukan. Hal ini dapat dilihat dalam kepemimpinan Drtarastra yang membawa Hastina Pura ke dalam perpecahan dan kehancuran dalam cerita Mahabharata.
Dewasa inipun kepemimpinan seperti Destarata ini masih terjadi. Pemimpin daerah sibuk dalam upaya untuk memperkaya diri dan keluarganya. Kebijakan-kebijakan yang dibuat hanya menguntungkan sekelompok orang saja. Hukum diterapkan dengan berat sebelah. Orang-orang suci dan pemuka agama tidak dihormati. Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat pun diabaikannya demi kepentingan pribadinya. Pemimpin telah dibutakan oleh ambisi-ambisi pribadinya.
Hal ini juga terjadi di Bali. Sejak jaman kerajaan sampai sekarang ini fenomena pemimpin seperti ini masih saja terjadi. Bertambah majunya ilmu pengetahuan dan pendidikan ternyata tidak memberikan dampak positif bagi moral para pemimpin.
Untuk itu Pustaka Niti Sastra sebagai pedoman bagi para pemimpin hendaknya dapat diamalkan. Dijelaskan bahwa ada enam sifat utama yang harus dimiliki seorang pemimpin. Adapun kriteria kepemimpinan menurut Pustaka Niti Sastra yaitu:
1.Abhikamika
Pemimpin harus tampil simpatik, berorientasi ke bawah dan mengutamakan kepentingan rakyat banyak dari pada kepentingan pribadi atau golongannya. Pemimpin yang mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi dalam kepemimpinannya sangat sulit kita temukan. Pemimpin cenderung memperkaya diri. Adahal hal yang aneh apabila seorang pemimpin dapat mempunyai kekayaaan bermiliar-miliar banyaknya padahal gajinya hanya beberapa puluh juta. Mahalnya biaya kampanye juga turut andil mendorong tindak korupsi dari para pemimpin. Berkampanye di tengah masyarakat yang semakin apatis dengan pilkada memang tidak mudah. Diperlukan uang dalam jumlah yang besar untuk menarik simpati warga karena memang kecenderungan orang dewasa ini adalah materialistis.
2.Prajna
Pemimpin harus bersikap arif dan bijaksana dan menguasai ilmu pengetahuan teknologi, agama serta dapat dijadikan panutan bagi rakyatnya. Kebijaksanaan seorang pemimpin akan menuntun seorang pemimpin untuk membuat berbagai kebijakan yang pro rakyat. Pemimpin yang bijak juga tentunya akan mencari solusi-solusi terbaik ketika daerahnya menghadapi masalah. Pemimpin yang tidak bijaksana akan cenderung membuat kebijakan-kebijakan yang aneh dan di luar ajaran agama. Hal ini pernah terjadi di Bali. Pemerintah yang tidak mampu mengendalikan maraknya Wanita Tuna Susila (WTS) malah membuat kebijakan untuk membuat lokalisasi. Kebijakan ini tentu sangat tidak bijaksana. Semestinya pemerintah tidak membuat lokalisasi melainkan mengambil kebijakan lain yang mengarah pada pemecahan masalah bukan sebaliknya dengan memfasilitasi hal tersebut
Pemimpin juga hendaknya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Tentunya kita tidak ingin daerah kita dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang bodoh. Pemimpin yang bodoh tentu akan berdampak buruk bagi kemajuan suatu daerah. Pemimpin hendaknya seorang yang cerdas yang menguasai ilmu politik, hukum, budaya, dan berbagai cabang ilmu lain sehingga mampu memberikan kebijakan-kebijakan yang inovatif dalam pemerintahannya. Penguasaan dan pengguanaan teknologi tentu juga tidak kalah pentingnya. Penggunaan teknologi akan mampu membuat seorang pemimpin bekerja lebih efektif dan efisien dalam kepemimpinannya.
Penguasaan terhadap ajaran agama juga sangat penting bagi seorang pemimpin. Kecenderungan umum dari pemimpin di Bali adalah sangat aktif menunjukkan dirinya seorang yang religius ketika pilkada tetapi mengabaikan kehidupan beragama ketika menjabat. Ketika pilkada banyak pemimpin yang mendatangi berbagai pura untuk memohon kesuksesan dalam pilkada. Para kandidat pemimpin itu juga ikut berdana punia dalam jumlah yang besar. Pemangku-pemangkunya juga diberikan bantuan lain. Namun hal itu hanya bersifat sementara. Ketika menjabat mereka ini malah mengabaikan pura dan tempat-tempat suci. Banyak areal suci yang dijual ke investor untuk mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kebersihan pura-pura juga terabaikan. Kesejahteraan para pemangku dan sulinggih pun tidak diperhatikan lagi. Yang menarik adalah daerah Tabanan. Berkali-kali berganti bupati tetapi tetap saja Pura Jagadnatha belum berdiri sampai sekarang. Ini adalah cermin seorang pemimpin yang tidak memperhatikan kehidupan beragama.
3.Utsaha
Pemimpin harus proaktif, berinisiatif, kreatif dan inovatif (pelopor pembaharuan) serta rela mengabdi tanpa pamrih untuk kesejahteraan rakyat. Pemimpin seperti ini akan membuat kemajuan daerah dengan sangat pesat. Gagasan yang kreatif dan inovatif yang disertai dengan peran aktif pemimpin akan membuat gagasan tersebut berhasil dijalankan sehingga kesejahteraan rakyat dapat ditingkatkan. Hal ini misalnya dengan mengolah lahan kering dan tandus menjadi obyek wisata. Selama ini pemimpin Bali cenderung kurang kreatif. Pemimpin Bali terlalu terpaku pada pariwisata. Dampaknya tentu sangat besar ketika industri pariwisata jatuh. Perekonomian menjadi terpuruk karena Bali terlalu tergantung kepada pariwisata dan tidak ada alternatif lain. Semestinya pemimpin Bali mencari alternatif baru sehingga ketika pariwisata terpuruk perekonomian juga tidak terpengaruh.
4.Atma Sampad
Pemimpin mempunyai kepribadian, berintegritas tinggi, moral yang luhur serta obyektif dan mempunyai wawasan yang jauh ke masa depan demi kemajuan bangsanya. Integritas yang tinggi mungkin sangat jarang kita lihat sekarang ini. Kebanyakan para pemimpin hanya mengumbar janji-janji yang tidak pernah ditepati. Kesatuan akan ucapan dengan tindakan sesungguhnya sangat penting bagi rakyat. Kekecewaan rakyat terhadap janji-janji bisa jadi merupakan bumerang bagi seorang pemimpin. Dapat saja rakyat melakukan mosi tidak percaya dan menjatuhkan pemerintahan seperti halnya yang terjadi pada Presiden Soeharto. Bagaimanapun juga kepemimpinan adalah amanat dari rakyat.
Moral yang baik juga sangat penting bagi seorang pemimpin. Bagaimanapun pemimpin adalah panutan rakyat dalam bertingkah laku. Tingkah laku yang kurang baik tentu sangat tidak diharapkan. Seberat apapun masalah yang dihadapi seorang pemimpin hendaknya dihadapi dengan cara-cara yang bermartabat bukan dengan aksi-aksi premanisme yang main pukul.
Wawasan yang jauh ke depan dari seorang pemimpin sangatlah penting bagi kemajuan suatu daerah. Hendaknya pemimpin membuat rencana jangka panjang kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakannya. Rencana ini kemudian dilaksanakan dengan konsisten sehingga harapan tersebut dapat terwujud dalam kepemimpinannya. selama ini pemimpin cenderung berpikiran instan dengan berupaya mengejar PAD sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan akibat yang ditimbulkan.
5.Sakya Samanta
Pemimpin sebagai fungsi kontrol mampu mengawasi bawahan dan berani menindak secara adil bagi yang bersalah tanpa pilih kasih/tegas. Kontrol terhadap kinerja bawahan juga sangat penting. Bagaimanapun juga pelaksana dari program-program pemimpin adalah para bawahannya sehingga perlu dilakukan kontrol terhadap kinerjanya. Perhargaan terhadap mereka yang berprestasi dan hukuman bagi mereka yang berkinerja buruk perlu dilakukan. Sudah saatnya mereka yang berkinerja baik mendapat kedudukan yang baik pula. Selama ini kedudukan dan jabatan tertentu cenderung diberikan kepada kerabat dekat saja sedangkan mereka yang berprestasi terpinggirkan.
6. Aksudra Pari Sakta
Pemimpin harus akomodatif, mampu memadukan perbedaan dengan permusyawaratan dan pandai berdiplomasi, menyerap aspirasi bawahan dan rakyatnya. Kemampuan dalam menjadi penengah di tengah perbedaan diantara rakyat juga penting bagi seorang pemimpin. Pemimpin hendaknya bersikap netral terhadap perbedaan pendapat diantara rakyat. Adalah sangat utama apabila pemimpin dapat memberikan solusi apabila terjadi perbedaan tersebut.
Menyerap aspirasi rakyat juga hendaknya rutin dilakukan pemimpin. Hal ini dapat dilakukan dengan sebulan sekali melakukan kunjungan ke masyarakat untuk menyerap aspirasinya. Aspirasi ini hendaknya ditindaklanjuti sehingga kegiatan pemerintah sesuai dengan harapan dari rakyatnya.
Demikian beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi seorang pemimpin dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan ajaran Niti Sastra. Pengamalan kepemimpinan yang berwawasan Niti Sastra ini akan menyebabkan pemerintahan berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan-tujuan kepeemimpinan yang diharapkan. Sudah saatnya pemimpin-pemimpin Bali di masa mendatang menjadikan hal ini sebagai pedoman dalam memimpin. Rakyat sudah sangat jenuh dengan pola-pola kepemimpinan yang tidak berpihak kepadanya.
Read More >>