Sabtu, 17 Desember 2011

Kedamaian: Tolak Ukur Agama Masa Depan




Agama diyakini oleh setiap pemeluknya sebagai pesan Tuhan kepada umatnya. Pesan Tuhan yang terangkum dalam kitab suci itu kemudian dijadikan pedoman hidup bagi manusia. Pedoman hidup tersebut diyakini akan mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan baik duniawi maupun rohani.
Namun demikian ternyata dewasa ini banyak sekali umat yang tidak merasakan kebahagian hidup tersebut. Umat merasa hidupnya tidak damai. Kedamaian itu terusik akibat maraknya konflik, baik itu karena dilatarbelakangi oleh perbedaan suku, agama, dan ras; bencana alam; berkembangnya penyakit-penyakit baru yang mematikan; ataupun tingginya angka kriminalitas. Berbagai faktor tersebut menyebabkan umat selalu dibayangi rasa  ketakutan. Mereka takut sewaktu-waktu salah satunya akan mendera mereka.
Tolak ukur yang dapat menggambarkan ketidakdamaian manusia adalah tingginya angka bunuh diri di berbagai daerah. Berbagai alasan melatarbelakangi tindakan nekat orang akan hal ini. Beberapa orang bunuh diri karena terbelit utang, ada yang karena menderita penyakit yang tidak kunjung sembuh, putus pacaran, bahkan ada pula karena urusan sepele berupa tidak diberikan uang jajan oleh orang tuanya. Tolak ukur lain misalnya semakin banyaknya orang-orang yang stress dan depresi. Hal ini mencakup lingkup yang luas; dari berbagai usia, bangsa, dan agama. Tentunya hal tersebut membuat kita bertanya-tanya; sudahkah agama memberikan kedamaian kepada umatnya?
Ajaran agama hendaknya mampu menciptakan perasaan damai di hati para pemeluknya. Dalam ajaran Hindu, banyak sekali akan kita temukan literatur mengenai petunjuk hidup dalam menciptakan perasaan damai ini. Ajaran tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi sebagian orang saja, namun seluruh manusia dari berbagai jenjang pendidikan, umur, dan bangsa.  Hal itu membentang dari ajaran kitab Itihasa dan Purana bagi  mereka yang mempunyai tingkat pemahaman yang masih rendah sampai pada kitab Upanisad bagi yang tingkat pemahamannya lebih tinggi.
Secara umum ajaran dalam berbagai kitab suci tersebut mengajarkan bahwa cara untuk dapat menemukan kedamaian tersebut dengan mulai melangkah “ke dalam diri’. Apabila kita sudah melangkah “ke dalam”, kita tidak akan lagi dibingungkan oleh benda-benda duniawi yang menyebabkan keterikatan yang pada gilirannya akan menimbulkan perasaan tidak damai. Beberapa upaya yang dapat dilakukan misalnya dengan semakin mengintensifkan sembahyang, membaca kitab suci, mendegarkan lagu-lagu rohani, ataupun menonton dan membaca kisah-kisah Itihasa dan Purana.
Hal ini berbeda dengan beberapa agama lain dimana dalam kitab sucinya seringkali mengajarkan kebencian. Beberapa agama mengijinkan pemeluknya itu untuk memerangi orang-orang yang tidak sepaham dengan konsep agama mereka. Hal inilah pemicu utama beberapa perang dan konflik dewasa ini. Tentunya kita semua masih ingat dengan penjajahan berbagai bangsa di Asia dan Afrika beberapa abad yang lalu. Penjajahan oleh bangsa yang mengaku memiliki derajat yang lebih tinggi itu salah  satunya dilatarbelakangi oleh adanya upaya untuk menyebarkan ajaran agama. Memerangi orang kafir dan bidah bukanlah suatu dosa menurut pemahaman kitab suci mereka. Hal itu juga belum termasuk kekerasan yang menimpa agama-agama minoritas yang terjadi di negeri ini.
Solusi dari permasalahan tersebut adalah dengan membuka diri dan menghargai ajaran agama orang lain. Kita hendaknya disiplin dalam berpikir dengan tidak menggunakan pola pikir agama kita untuk memahami ajaran agama lain. Kita tidak akan dapat memahami kedalaman makna ajaran suatu agama apabila kita masih mengkajinya dengan pola pikir dari agama yang kita anut.  Hal ini dapat dianalogikan seperti seseorang yang ingin menebang pohon dengan menggunakan pisau dapur, sebuah kekeliruan yang bodoh dan fatal. Ketika kita sudah dapat berpikir seperti itu maka kita akan dapat menemukan kebenaran dalam agama tersebut. Dengan demikian kita tidak lagi akan memandang rendah orang yang berbeda agama dengan kita dan berusaha membujuk mereka untuk memeluk agama yang kita anut.
Sudah tidak jamannya lagi mengkonversi orang-orang untuk beragama sesuai dengan agama yang kita anut terlebih lagi bagi mereka yang sudah beragama. Sudah tidak jamannya pula kita berebut umat untuk meningkatkan kuantitas pemeluk agama yang kita anut. Kebesaran suatu agama tidak diukur dari seberapa banyak umat yang menganutnya. Tidak pula diukur dari seberapa banyak dan megah tempat pemujaannya.  Kebesaran suatu agama diukur dari seberapa besar sumbangsihnya dalam menciptakan kedamaian di muka bumi . “Semoga  terdapat ketenangan dan kedamaian untuk semua makhluk” (Atharwa Weda)
Read More >>

Jumat, 16 Desember 2011

Tirtayatra di Dalam Negeri Apa Salahnya?




            Perkembangan teknologi khususnya di bidang transportasi sangat membantu umat untuk melakukan perjalanan suci (tirtayatra). Dengan adanya kendaraan bermotor maka masalah jarak tidak menjadi halangan lagi dalam bertirtayatra . Tirtayatra ke pura-pura tidak lagi ditempuh dengan jalan kaki seperti dulu. Bahkan untuk sembahyang ke pura Kahyangan Tiga di desa pun sekarang ini dilakukan dengan memakai sepeda motor. Tempat tujuan tirtayatra pun meluas, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga ke tempat-tempat suci di luar negeri seperti India, Nepal, dan beberapa negara lain. Belakangan tirtayatra ke luar negeri ini malah lebih populer di kalangan umat daripada ke dalam negeri. Hal ini sesungguhnya merupakan kabar yang menggembirakan, tetapi tirtayatra semacam itu lebih terkesan pamer dan plesiran. Makna tirtayatra menjadi kabur ketika umat melakukannya dengan mengabaikan obyek-obyek tirtayatra di dalam negeri yang bahkan belum sempat dikunjungi.
            Sesungguhnya tirtayatra di dalam negeri tidak kalah berpahala. Banyak pura di dalam negeri juga mempunyai vibrasi yang luar biasa. Bahkan Shri Shri Ravi Sankar sangat gemar berkunjung ke Bali karena energi kosmis Bali yang kuat. Demikian pula dengan Acarya Shri Kishore Goswami, penemu Meditasi Angka yang berhasil menemukan teknik meditasi ini di Bali. Selain itu masih banyak lagi para Maharsi jaman dulu yang gemar melakukan tirtayatra di nusantara dan kemudian membangun tempat-tempat suci. Beliau seolah berpesan bahwa tirtayatra di dalam negeri amat penting.
            Membangun kecintaan umat untuk bertirtayatra ke pura-pura di dalam negeri sangatlah penting. Tirtayatra tidak hanya sekedar bertandang ke tempat suci dan sembahyang, tetapi lebih dari itu tirtayatra dapat membuktikan eksistensi Hindu di nusantara. Melalui tirtayatra, umat lain dapat melihat bahwa Hindu masih tetap eksis. Dengan bertirtayatra ke pura-pura di Jawa misalnya, umat lain akan tahu bahwa Hindu masih ada, tidak hanya di Bali. Secara politik hal ini diharapkan mampu menggugah kebijakan-kebijakan pemerintah untuk lebih memperhatikan Hindu. Selama ini Hindu di luar Bali kerap kali terabaikan karena dianggap “tidak ada”. Sebagai contoh dapat diambil kekurangan tenaga guru agama di daerah sehingga banyak siswa Hindu tidak mendapat pelajaran agama di sekolahnya. Diharapkan perhatian pemerintah akan lebih besar kepada umat Hindu seiring dengan makin bersemangatnya umat dalam bertirtayatra di dalam negeri sebagai bukti keberadaan Hindu di nusantara.Dengan tirtayatra pula rasa persatuan antarumat Hindu dapat dipererat sehingga sangat membantu perkembangan Hindu di nusantara.
            Aspek ekonomi juga hendaknya jangan diabaikan. Tirtayatra secara tidak langsung juga berperan penting dalam membangun perekonomian warga. Perjalanan suci ke tempat-tempat suci memerlukan sarana pendukung seperti travel agent, sarana upakara, penginapan, warung makan, dan sarana pendukung lainnya yang akan berpengaruh terhadap jehidupan warga sekitar dari aspek ekonomi. Celah ini hendaknya dapat dibaca oleh umat Hindu untuk berkecimpung di dalamnya. Selama ini umat Hindu kurang jeli mengambil peluang bisnis dari tirtayatra sehingga hasilnya kebanyakan dinikmati oleh umat lain. Jasa-jasa penginapan dan warung makan di areal pura juga bertebaran di sekitar pura namun sebagian besar dikuasai oleh umat lain. Tentunya akan lebih baik apabila kita yang mengambil alih peluang bisnis ini.  Dengan demikian perekonomian umat Hindu yang selama ini terbelakang akan dapat diperbaiki dengan kegiatan tirtayatra ini.
            Secara spiritual tirtayatra merupakan upaya untuk meningkatkan kesucian diri secara spiritual. Berkunjung dan bersembahyang di tempat-tempat suci yang mempunyai vibrasi spiritual yang tinggi akan mampu meningkatkan kualitas kesucian diri secara bertahap. seperti halnya sebatang besi yang pelan-pelan menjadi magnet karena seringkali dekat, demikian pula jiwa akan semakin tersucikan ketika kita rajin melakukan tirtayatra dengan tulus. Etika berkunjung ke tempat suci  dimana umat diharapkan untuk menjaga kesucian pikiran, perkataan, dan perilaku hendaknya dapat diemplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian maka  berprilaku suci akan menjadi suatu kebiasaan. Inilah sesungguhnya tolak ukur keberhasilan dalam bertirtayatra.
            Kecintaan umat untuk melaksanakan tirtayatra dalam rangka membangun Hindu Nusantara hendaknya perlu diupayakan. Alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan  penataan pura dengan baik. Areal pemukiman dab ekonomi perlu ditempatkan pada tempat yang semestinya sehingga  tidak mengganggu umat bersembahyang. Pura-pura kita juga cenderung kumuh. Banyak sampah sisa sesajen berserakan di areal pura. Anjing dan hewan juga dengan mudahnya berkeliaran di areal pura. Bahkan di beberapa pura ada umat (anak-anak) yang berebut sesari yang sangat menganggu umat dalam sembahyang. Hal tersebut hendaknya segera dibenahi dalam upaya untuk menumbuhkan kecintaan umat dalam bertirtayatra di dalam negeri.
Read More >>

Adat Justru Menghancurkan Hindu




Populasi Hindu di Bali semakin menipis. Banyak umat Hindu yang sekarang ini beralih agama. Ada yang berpendapat bahwa hal tersebut disebabkan oleh peran Desa Pakraman yang semakin kehilangan taring. Desa Pakraman tidak mampu menjadi tameng bagi masuknya ajaran agama baru yang masuk ke suatu wilayah. Belakangan malah disimpulkan bahwa Hindu tidak akan mampu bertahan apabila tidak ada Desa Pakraman.
            Pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar. Memang benar bahwa organisasi yang kuat seperti Desa Pakraman dibutuhkan bagi perkembangan agama Hindu. Melalui Desa Pakraman umat dapat dibina dan ditumbuhkan kecintaannya akan agama Hindu. Namun sayang dalam prakteknya desa pakraman jusru berkutat dalam “melestarikan adat yang kaku”, tidak jarang pada hal-hal yang  sudah tidak relevan lagi dengan perubahan jaman sekarang ini. Desa Pakraman yang tetap kaku dengan adatnya malah menjadikan umat empati terhadap Desa Pakraman. Kita dapat lihat fenomena tersebut di beberapa daerah. Di daerah masih saja ada permasalahan kasta, kasepekang, rebutan setra, dan tapal batas.
            Tidak bisa dipungkiri bahwa banyaknya umat kita yang berpindah agama karena masalah kasta. Adat yang pro  system kasta di tengah kemajuan jaman sangat rentan mendapat perlawanan dari mereka yang dianggap lebih rendah. Adalah hal yang manusiawi bahwa manusia ingin dianggap lebih tinggi dari orang lain mengingat hakekat manusia yang bersifat Satyam (kebenaran), Siwam (kebajikan), dan Sundaram (keindahan). Karena hakekat tersebut maka manusia akan merasa bersalah apabila melakukan perbuatan yang melanggar nilai-nilai kebenaran dan kebajikan. Manusia juga akan merasa dilecehkan apabila ia dianggap tidak indah/rendah karena hakekat Sundaram dalam dirinya. Inilah bentuk kekeliruan dari adat dalam menerjemahkan konsep agama. Ajaran Catur Warna yang demikian bijaksana dianggap sebagai justifikasi untuk melakukan stratifikasi social secara sempit seperti yang ada dalam kasta. Ajaran Hindu yang sangat menghargai persamaan harkat dan martabat makhluk hidup terlihat tidak adil. Jika system kasta ini tetap dipertahankan dengan kaku maka jumlah umat akan terus-menerus berkurang mengingat jumlah penduduk yang digolongkan ke kasta rendah jauh lebih dominan.
            Demikian pula halnya dengan masalah kasepekang, rebutan setra dan tapal batas yang marak beberapa waktu belakangan ini yang sangat tidak manusiawi. Masalah-masalah tersebut malah menjadikan umat Hindu menjadi sangat ngeri terhadap Desa Pakramannya sendiri. Umat Hindu di Bali seolah beragama lebih karena ketakutannya terhadap adat, bukan karena Sraddha dan Bhaktinya terhadap Tuhan. Bisa saja orang yang  bersembahyang tersebut karena mereka takut terkena sangsi adat seperti kasepekang. Adat seperti ini akan menghambat orang-orang Hindu untuk maju. Bayangkan bagaimana mungkin seorang Hindu akan mempu menjadi General Manager di suatu perusahaan apabila dia juga harus rutin mengikuti sangkep-sangkep kecil di banjar yang kadang digunakan untuk minum-minum?
            Adat juga kerap menyebabkan orang menjadi berat menjadi seorang Hindu. Adat yang kaku umumnya mengharuskan orang untuk melakukan upacara-upacara yang besar. Dalam upacara Ngaben misalnya, seseorang harus mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk itu agar sesuai dengan adat setempat. Ajaran Hindu yang menyediakan berbagai pilihan dalam beryadnya seolah tak berdaya ketika sudah berhadapan dengan adat. Untuk itu tidaklah salah apabila sekarang ini banyak bermunculan crematorium sebagai salah satu solusi permasalahan adat khususnya bagi mereka yang kasepekang dan tidak mampu.
            Berbagai permasalahan adat tersebut hendaknya kita renungkan kembali untuk dicarikan solusi yang paling tepat. Melihat begitu kompleksnya permasalahan adat sekarang ini maka tentunya membuat orang Hindu berpikir kembali untuk tetap menganut Hindu. Tanpa dikonversipun banyak oang Hindu yang sudah beralih agama. Apa jadinya Hindu jika permasalahan seperti ini tetap dibiarkan terus menerus?
Untuk itu adat hendaknya mampu untuk berbenah diri. Adat hendaknya disesuaikan dengan perkembangan jaman dan nilai-nilai agama Hindu. Desa Pakraman hendaknya mampu menjadi Hindu Center di masing-masing desa seperti halnya program Pemprov Bali beberapa waktu lalu. Program tersebut hendaknya lebih diarahkan pada pembelajaran ketrampilan hidup untuk memperkuat daya saing umat Hindu dalam persaingan global berdasarkan ajaran Hindu, bukan sebaliknya dengan bermimpi kembali ke masa lalu dengan adat yang kental. Untuk mengontrol adat dapat pula ditempuh dengan menempatkan guru-guru agama Hindu dalam kepengurusan Desa Pakraman. Di desa kami yang adatnya masih kental hal ini sangat membantu. Parisada sebagai lembaga tertinggi umat juga hendaknya berperan aktif untuk menelaah dan mengkritisi adat-adat yang keliru. Lebih lanjut Parisada hendaknya aktif dalam memberikan pencerahan rohani sehingga ajaran adat dapat disesuaikan dengan ajaran Hindu.


Read More >>

Kamis, 15 Desember 2011

Pitra Yadnya: Lebih Cepat Lebih Baik



Asato ma sad gamaya
Tamaso ma jyotir gamaya
Mrtyor ma amrtam gamaya

“Ya Tuhan bimbinglah kami dari ketidakbenaran menuju kebenaran
Dari kebodohan menuju kebijaksanaan
Dari kematian menuju keabadian”

Upacara Panca Bali Krama kembali digelar. Upacara besar ini mendapat sambutan yang sangat baik dari krama Bali terbukti dengan besarnya antusias mereka ngayah selama berlangsungnya karya ini. Berbagai persiapan dilaksanakan dengan cepat. Dan untuk menjaga kesucian alam Bali, selama berlangsungnya karya ini  masyarakat Bali dilarang untuk melakukan upacara Ngaben.
Pelarangan Ngaben ini patut disikapi. Benarkah Ngaben dapat merusak kesucian alam yang diperlukan selama berlangsungnya karya? Tidakkah sawa yang disimpan menunggu selesainya karya malah akan memberikan vibrasi negatif?
Menurut Grhya Sutra dan Wedanta, badan orang yang meninggal semestinya segera diupacarai. Ketika meninggal badan fisik (Annamayakosa) akan ditinggalkan oleh atma. Atma kemudian akan menggunakan badan esteris (Pranamayakosa). Jika badan fisik tersebut tidak segera mendapat upacara maka atma akan sangat lama terikat dengan badan esteris. Ketika masih terikat dengan badan esteris atma masih terikat dengan unsur-unsur keduniwian. Atma akan sangat sulit untuk melangkah ke badan astral (Manomayakosa) dalam proses perjalanan jiwa menuju kematian. Hal ini sangat rentan menjadikan atma sebagai preta atau bhuta cuil dalam keyakinan masyarakat Bali.
Ketika atma menjadi preta, maka atma akan mempunyai sifat-sifat negatif seperti keinginan untuk membalas dendam, mengganggu orang dan sebagainya. Atma akan menjadi semakin terpuruk dalam awidya. Preta memberikan vibrasi negatif  bagi alam. Pengalaman kami yang pernah menyimpan sawa dalam waktu yang lama mengakibatkan suasana rumah menjadi mencekam. Beruntung kami dibantu oleh beberapa teman sehingga vibrasi-vibrasi buruk itu dapat dinetralisir.
Cerita tentang penderitaan atma putra Raja Sagara yang meninggal akibat kemarahan Rsi Kapila dalam penggalan cerita turunnya Gangga ke dunia seperti yang terdapat dalam kitab Purana hendaknya dapat dijadikan pelajaran. Diceritakan bahwa keenam ribu putra Raja Sagara menuduh Rsi Kapila mencuri kuda yang dipergunakan dalam upacara Aswameda yang dilakukan oleh Raja Sagara. Rsi Kapila yang marah kemudian membakar mereka semua sehingga menjadi tumpukan abu. Untuk menyucikan roh mereka semua maka diperlukan  air suci Gangga. Karena penyesalannya Raja Sagara melaksanakan tapa untuk menurunkan Gangga ke dunia. Tapi Raja Sagara gagal.  Hal ini kemudian dilanjutkan oleh putranya yang bernama Amshuuman. Raja Amshumanpun gagal. Penurunan Gangga kemudian dilanjutkan oleh putranya yakni Raja Dilipa, namun masih tetap gagal. Gangga baru berhasil diturunkan ke bumi oleh putranya yakni Raja Bhagiratha. Raja Bhagiratha juga memuja Dewa Siwa agar Beliau berkenan meredam Gangga yang turun dari sorga sehingga dunia tidak hancur karenanya. Dengan turunnya Gangga, maka atma leluhurnya menjadi tersucikan sehingga  dapat bereinkarnasi kembali.
Mengingat menderitanya atma orang yang upacara kematiannya ditunda seperti itu, semestinya  pelaksanaan upacara kematian tidak ditunda-tunda. Lebih cepat lebih baik. Dengan upacara atma orang yang meninggal diharapkan tidak sempat terikat kembali dengan hal-hal duniawi sehingga tidak menghambat perjalanan jiwa mereka menuju  reinkarnasi kembali. Bisa jadi dengan penundaan upacara Ngaben ketika terdapat  upacara Panca Bali Krama menjadikan atma semakin sedih dan menyesal secara mendalam terhadap kematiannya karena mereka meninggal sebelum sempat ngayah. Penundaan seperti itu bisa jadi sangat rentan menjadikan para atma sebagai bhuta cuil atau preta.
Penundaan upacara Pitra Yadnya bagi orang yang meninggal tentunya juga berdampak buruk bagi keluarga yang ditinggalkan. Secara ekonomi keluarga yang ditinggalkan perlu mengeluarkan biaya yang berlebih untuk mengurus sawa yang ada di rumahnya misalnya saja biaya untuk mengawetkan jenasah. Selain itu keluarga juga perlu mengeluarkan biaya untuk menjamu tamu yang bertandang ke rumahnya untuk melayat. Penundaan pelaksanaan Pitra Yadnya juga berdampak buruk bagi psikologis keluarga yang ditinggalkan. Keluarga tentunya akan lebih lama memendam kesedihan. Secara psikologis pula keluarga akan menjadi tertekan karena upacara bagi sanak keluarganya tidak bisa segera dilaksanakan. Tidak bisa segera sembahyang ke pura Besakih tentunya juga menambah beban psikologis.
Melihat buruknya efek yang ditimbulkan oleh penundaan pelaksanaan Pitra Yadnya maka larangan tersebut hendaknya dikaji kembali. Memelihara kesucian alam Bali ketika karya Panca Bali Krama hendaknya dilakukan secara lebih logis dan manusiawi sesuai dengan ajaran filsafat Hindu. Hendaknya kita semua sebagai warga Bali ikut aktif menjaga kesucian alam Bali.Memelihara kesucian alam Bali dapat dilakukan dengan melakukan optimalisasi peran Tri Sadhaka. Tri Sadhaka tidak hanya diperlukan dalam muput karya Panca Bali Krama, Tri Sadhaka juga hendaknya berperan aktif dalam membersihkan alam (Tri Bhuwana). Sulinggih Bujangga optimal membersihkan Bhur Lokha, Sulinggih Budha membersihkan Bwah Lokha dan Sulinggih Siwa aktif membersihkan Swah Lokha. Kewajiban Sulinggih melaksanakan Surya Sewana di pagi hari dalam usaha untuk membersihkan alam hendaknya dilakukan dengan all out. Demikian juga dengan para walaka semuanya hendaknya ikut menjaga kesucian diri dan  lingkungan dengan menjaga pikiran, perkataan, dan perbuatan agar senantiasa sesuai dengan ajaran etika Hindu.
Read More >>

Rabu, 14 Desember 2011

Kepongor: Metode Pendidikan Agama yang Efektif

 
samo ‘ham sarwa bhutesu
na me dvesyo ‘sti na priyah
ye bhajanti tu mam bhaktya
mayi te tesu capy aham

Aku adalah sama bagi semua makluk,
bagi-Ku tiada yang terbenci dan terkasihi,
tetapi mereka yang berbhakti kepadaku dengan penuh pengabdian,
mereka ada pada-Ku dan Aku ada pada mereka
(Bhagawadgita IX-29)

Tak bisa  kita pungkiri bahwa kehidupan beragama Hindu khususnya di Bali banyak dipengaruhi oleh mitos-mitos gaib. Mitos tersebut misalnya kepongor yakni sebuah kepercayaan yang menganggap dewa-dewa atau roh-roh leluhur melakukan penghukuman terhadap manusia atas tindakan-tindakan yang dianggap menyalahi hukum-hukum alam esoteris. Contoh yang dapat diambil yakni maraknya umat yang terpaksa melaksanakan upacara berskala besar walau sebenarnya secara konomi mereka tidak mampu. Justifikasi  dari para Balian Sonteng akan pesan dari para dewa atau leluhur mengenai ukuran upacara tidak berani mereka bantah, mereka takut kepongor.. Pilihan ukuran melaksanakan yadnya seolah terabaikan. Keiklasan yang dalam sastra dikatakan lebih utama menjadi tidak berarti. Akibatnya umat Hindu dalam  melaksanakan ritual banyak yang dilandasi ketakutan bukan keikalsan. Umat melaksanakan upacara hanya karena takut kepongor atau kemarahan Tuhan. Tattwa agama tampak dikalahkan oleh ketakutan umat akan mitos gaib.
            Namun demikian fenomena ini justru dapat  dimanfaatkan untuk menanamkan sraddha dan moralitas kepada umat terutama bagi generasi muda. Maraknya tindak kejahatan dan rendahnya moralitas generasi muda dapat diperbaiki dengan mengintegrasikan mitos gaib ini dalam pendidikan agama Hindu. Dengan adanya kepercayaan ini para generasi muda akan tunduk dan patuh terhadap ajaran agama. Kepongor ini akan menuntun generasi muda untuk senantiasa rajin sembahyang. Demikian pula dengan rasa hormat mereka kepada leluhur dapat dibentuk. Sifat itu kemudian dapat mereka wujudnyatakan dengan menhormati orang tua mereka di rumah maupun orang yang dituakan serta masyarakat pada umumnya. Dengan demikian implikasi dari kepercayaan kepongor ini akan berdampak langsung dalam membentuk karakter generasi muda yang berbhakti dan santun. 
            Hal tersebut kami rasakan  sendiri. Ketika kecil kami diajarkan untuk senantiasa rajin sembahyang. Keluar rumah baik itu ke sekolah ataupun jalan-jalan kami diajarkan untuk sembahyang terlebih dahulu. Kami juga diajarkan untuk senantiasa hormat kepada orang yang lebih tua. Jika itu dilanggar maka dikatakan bahwa kami akan kepongor. Pun ketika kami aktif sebagai anggota Pramuka. Ketika saat pelantikan kami mengucapkan Tri Satya yang syarat dengan janji-janji moral di sebuah pura yang konon keramat. Pendidikan masa kecil dan janji di pura itu menjadikan kami takut untuk berbuat yang tidak baik karena kami takut kepongor. Setelah mempelajari filsafat kami baru menyadari kesalahan dari alur berpikir tersebut. Tapi kami justru bersyukur karena berkat ajaran tersebut kami senantiasa tertuntun untuk selalu berbuat baik. Ini membuktikan bahwa mitos kepongor sangat efektif sebagai metode pembelajaran agama Hindu.
            Sesungguhnya kepercayaan akan kepongor ini juga terdapat dalam Itihasa dan Purana. Cerita akan kehancuran para raksasa akibat keangkuhan dan keangkaramurkaannya juga merupakan bentuk kepongornya kepada para dewa. Hiranyakasipu, Rawana, Sisupaladan Duryodana merupakan tokoh-tokoh yang terkenal kepongor dalam Purana dan Itihasa. Itihasa dan Purana seolah berpesan agar kita semua menjadi orang baik dan tidak sekali-kali berani melawan dewa atau leluhur. Cukup dipercaya dan lakukan dan hasilnya akan kita dapatkan pada akhirnya.
Mitos kepongor ini hendaknya juga diimbangi dengan cerita orang-orang sukses akibat pengabdian dan rasa hormatnya kepada para dewa dan leluhur. Dengan demikian generasi muda akan termotivasi untuk senantiasa berbuat baik dan takut berbuat jahat.  Dalam hal ini seorang guru atau orang tua di rumah dapat menanamkan cerita-cerita keteladanan dari Prahlada, Rama, Pandawa, dan sebagainya  yang kehidupannya berujung pada kesuksesan. Di rumah seorang orangtua hendaknya menyisihkan waktu untuk menceritakan cerita-cerita Purana dan Itihasa tersebut kepada anaknya. Tradisi mendongeng sebelum tidur yang semakin ditinggalkan akibat kemajuan teknologi hendaknya dibangkitkan kembali. Tidak bisa dipungkiri bahwa selain mendatangkan manfaat yang besar, teknologi juga berpengaruh buruk terhadap karakter anak.  Maraknya game-game serta tontonan di televisi yang berbau kekerasan dan tindakan asusila sangat mempengaruhi karakter anak ke arah yang buruk.
Namun demikian hendaknya ketika mereka sudah beranjak dewasa diajarkan kebenaran filsafat dan tattwa sehingga mampu mengkritisi kebenaran dari mitos kepongor tersebut. Melalui pendalaman filsafat mereka akan memahami bahwa para dewa dan leluhur sesungguhnya sangat pemurah dan pemaaf. Dengan demikian mereka pada nantinya juga akan mengetahui maksud sesungguhnya dari kepercayaan kepongor tersebut yang sesungguhnya ingin menanamkan sraddha dan moralitas. Pembinaan-pembinaan kepada umat secara keseluruhan juga sangat diperlukan sehingga sraddha dan bhakti umat dapat ditingkatkan dan tidak dikalahkan oleh mitos-mitos yang tidak jelas dasar sastranya.
Read More >>